Oleh Edy M. Ya`kub
Surabaya (ANTARA News) - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memperingati Hari Pers Nasional (HPN) pada setiap 9 Februari. Sedangkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) "menandingi" perayaan Hari Pers, dengan merujuk pada Hari Pers Dunia, setiap 4 Mei.
Pilihan Hari Pers bukan hal yang penting untuk diperdebatkan, meski akan menjadi manis bila PWI dan AJI bertemu dengan komunitas pers lainnya untuk menentukan Hari Pers.
Adalah pilihan yang jauh lebih penting bila pers mau dan mampu mengakui kesalahan yang dilakukannya selama ini.
Penilaian itu disampaikan pendiri Lembaga Konsumen Media (LKM), Sirikit Syah. "Pers nasional saat ini sudah mulai dapat belajar dari kesalahan pemberitaan," katanya kepada ANTARA News di Surabaya, Jumat (8/2).
Dulu, kata pengamat media itu, pers tidak pernah salah, karena pejabat langsung telepon, sehingga saat era reformasi menjadi liar.
"Kebebasan yang liar sejak era reformasi itu amenjadi pengalaman berharga bagi pers nasional," kata penggerak jurnalisme damai (peace journalism) di Jawa Timur itu.
Oleh karena itu, katanya, pers nasional sekarang dilihatnya sudah sangat bagus, karena pers nasional sudah dapat belajar dari kesalahannya.
Penerima fellowship dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK) Jepang (1988) itu mencontohkan, kasus "cover" Majalah TEMPO edisi 50/XXXVI/04-10 Februari 2008.
"TEMPO sering tertimpa kasus dan sering melayani hingga ke pengadilan, tapi dalam kasus `cover` yang diprotes umat Katholik itu, TEMPO minta maaf," katanya.
Hal serupa, kata salah seorang Pemimpin Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) itu, juga sudah menjadi pelajaran bagi kalangan pers secara nasional.
"Jadi, pers nasional sudah lepas dari kebebasan yang liar. Mereka sudah belajar bertanggungjawab sendiri dengan belajar dari kesalahan yang diperbuatnya," katanya.
Hal senada juga diungkapkan "orang luar" yang sering menjadi nara sumber pers, yakni Ketua MPR RI, HM Hidayat Nurwahid, saat berbicara di depan peserta Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia dalam rangka HPN 2008 di Semarang, Jawa Tengah.
"Sekarang, pers sudah membuka diri untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan pers sendiri. Beberapa kali saya melakukan koreksi terhadap suatu berita yang menukil dari saya dan ternyata tak benar, tapi hari berikutnya mereka telah mengoreksinya," katanya.
Pers juga bisa salah, dan pers menjadi bagus atau lebih bertanggungjawab bila belajar dari kesalahan yang diperbuatnya.
Tanggungjawab pers juga menjadi sorotan Sirikit Syah, yang juga alumnus West Minster University (2002) dan penerima Hubert H. Humphrey Foundation (1994) itu.
"Konglomerasi pers merupakan titik lemah pers. Media cetak sekarang dipegang dua kelompok besar. Hal itu akan membuat suara pers menjadi hanya dua suara, sehingga suara yang berbeda sulit muncul," katanya.
Hal itu juga terjadi pada media penyiaran yakni radio dan televisi. "Risiko `satu suara` itu membuat pers rentan dipermainkan politisi," kata penerima penghargaan "Ashoka" Jepang (2002) itu.
Baginya, bila pers sudah dikendalikan politisi secara satu suara, maka hal itu merugikan rakyat, sehingga media massa independen yang menjadi "suara lain" pun harus didorong kemunculannya, meski tak sebesar "kelompok besar" yang ada.
"Kemungkinan `satu suara` itu memang belum mencemaskan, tapi potensi itu ada, karena aturan yang membatasi perselingkuhan pers dengan politisi itu belum ada," katanya.
Oleh karena itu, ia menyarankan Serikat Pekerja Surat-kabar (SPS) mengatur hal itu untuk kalangan media cetak, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mengaturnya bagi kalangan media penyiaran.
Tidak hanya konglomerasi, titik lemah lainnya adalah pendidikan insan pers itu sendiri.
"Pers banyak mengalami kemajuan di era reformasi, karena daya kritis publik semakin kuat akibat pendidikan dari pers, tapi liberalisasi juga memunculkan `orang-orang di bawah standar` yang tidak memenuhi kompetensi," kata Ketua Umum PWI Tarman Azam di Semarang pada Kamis (7/2).
Pentingnya pendidikan bagi insan pers juga dilontarkan Hidayat Nurwahid.
"Insan pers perlu diberi pendidikan dan pelatihan jurnalistik yang lebih profesional, sehingga pers bukan hanya kritis, melainkan juga solutif dengan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan serta menghormati kebhinnekaan," katanya.
Pendidikan bagi pers, katanya, akan membuatnya mampu mengembangkan pendapat umum yang tepat, akurat, dan benar tanpa melupakan upaya melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sudah saatnya pers nasional belajar dari kesalahan yang diperbuatnya. Pers juga harus terus belajar untuk lebih bertanggungjawab mengakui kesalahannya. Publik pun agaknya senantiasa berharap pers menjadi lebih "dewasa". (*)
Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008