Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin menyatakan bahwa untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia membutuhkan reformasi dibidang hukum karena kebijakan yang ada sekarang masih belum berpihak kepada rakyat miskin. Din menyampaikan pendapatnya tersebut dalam konsultasi tingkat tinggi tokoh agama di Markas Besar PBB, New York, yang diselenggarakan oleh organisasi global Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Kaum Miskin yang berlangsung tanggal 5-7 Februari yang lalu. "Dalam pertemuan tiga hari itu saya mengusulkan kaum miskin ini mutlak memerlukan pembaharuan hukum, reformasi hukum. `Legal reform` dibutuhkan di negara-negara seperti Indonesia karena banyak hukum yang tidak berpihak kepada kaum miskin, hanya memberi kemanfaatan bagi orang kaya, kepada kaum kapitalis," kata Din seusai jumpa pers pagelaran seni "Gerak Hijrah" yang digelar dikediamannyai di Jakarta, Jumat. Hukum seringkali tidak berpihak kepada kaum miskin, kata Din, karena adanya intervensi dari negara-negara besar terhadap penetapan UU di negara dunia ketiga seperti Indonesia. "Ketika kita ingin memperbarui hukum itu, ada intervensi dari negara-negara besar kepada negara dunia ketiga yang akhirnya UU yang dihasilkan itu tidak berpihak kepada kaum miskin. Contohnya UU Migas, menurut kajian para ahli membawa kerugian terhadap sumber daya alam kita yang malah menguntungkan orang luar," paparnya. Din diundang dalam pertemuan yang dihadiri sekitar 12 tokoh agama dari berbagai negara itu bersama Ketua NU Hasyim Muzadi, yang bertujuan untuk menyampaikan pandangan tokoh agama mengenai program pemberdayaan hukum bagi rakyat miskin di negara masing-masing. "Komisi itu memandang strategisnya peran tokoh agama dan peran agama dan kalau ada kebijakan, kalau mau berhasil itu perlu pendekatan agama. Ini kami hargai karena sebuah komisi PBB menghargai agama, soalnya selama ini PBB kurang bernuansa keagamaan dan kurang menempatkan agama sebagai instrumen strategis untuk merealisasikan agenda-agendanya itu," komentar Din. Ia menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia tidak semata-mata karena faktor kultural, karena di beberapa daerah justru etos kerja dari masyarakat tinggi. "Tetapi mereka menjadi miskin karena kemiskinan struktural, karena kebijakan, karena sistem ekonomi negara yang sangat kapitalistik, yang mengandalkan pertumbuhan industrialisasi," katanya. Din mencontohkan bidang pertanian yang tergusur oleh industrialisasi, dimana lahan-lahan pertanian disulap menjadi pabrik-pabrik dan petani yang tersisa tidak mendapat kemudahan dalam mengolah lahannya dan terjebak kedalam praktik rentenir untuk mendapatkan bibit dan pupuk. "Akhirnya mereka berubah menjadi buruh tani, bukan petani," ujarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Din, seharusnya negara bisa melakukan proteksi dan memotong "akar tunjang" dari praktik rentenirisme itu. "Saya kira itu mudah bagi negara jika punya `good will`, `political will` tapi saya menyaksikan di lapangan ketika panen padi, banyak petani yang menjerit menjadi buruh tani, bukan petani lagi," katanya. Lebih lanjut, Din menyimpulkan bahwa rakyat miskin di Indonesia masih banyak dan perlindungan hukumnya lemah.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008