"Penyebab terbesar adalah kegagalan bank untuk mengidentifikasi serta memberikan keputusan debitur mana yang pantas dan mampu diberikan pinjaman," ujarnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pada Februari 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan peningkatan NPL mencapai 2,59 persen pada Februari 2019, naik dari 2,56 persen dari bulan sebelumnya. Rasio NPL bersih juga meningkat dari 1,13 persen menjadi 1,17 persen pada periode yang sama.
“NPL merupakan tantangan besar bagi bank untuk memperoleh keuntungan sekaligus untuk dapat memberikan pinjaman kepada debitur lain. Ujung-ujungnya, hal tersebut akan berdampak negatif terhadap ekonomi nasional," tuturnya.
Dengan demikian, lanjutnya, sektor perbankan Indonesia membutuhkan dukungan untuk menjaga stabilitasnya. Salah satunya ialah dari kreditur-kreditur baru yang akan membeli NPL dari sebuah bank.
“Dengan melakukan ini, kreditur akan membantu bank untuk memperbaiki neraca keuangannya sehingga dapat terus memberikan kucuran kredit kepada perusahaan-perusahaan yang dikelola dengan baik dan layak memperoleh pinjaman," tambahnya.
Kepastian hukum
Kepastian hukum tetap menjadi pertimbangan utama dari investor luar negeri yang berencana untuk mengalirkan dana segar mereka ke Indonesia. Investor membutuhkan komitmen dan dukungan yang kuat dari Pemerintah Indonesia untuk dapat mampu membangun kerangka hukum dan peraturan yang mendukung iklim investasi di Indonesia.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Piter Abdullah mengatakan bahwa reformasi sistem hukum di sektor bisnis diperlukan untuk membangun kepercayaan investor, khususnya investor luar negeri.
"Tanpa kepastian hukum, saya khawatir semakin banyak investor akan berpikir dua kali sebelum masuk ke Indonesia karena, agar perekonomian kita tumbuh, Indonesia membutuhkan dana yang sangat besar," tutup Piter.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019