Jakarta (ANTARA) - Setelah bergulir sekitar dua tahun di DPR, akhirnya naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Permusikan benar-benar berakhir pada 17 Juni 2019.

RUU yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019 itu ditarik oleh para pengusulnya. Para inisiator dan pengusulnya adalah anggota-anggota DPR. Dengan demikian, naskah rancangan RUU itu telah dinyatakan dihapus dari daftar Prolegnas 2019. Kini tidak ada lagi suara pro dan kontra atas RUU ini.

Pro-kontra demikian tajam mengiringi perjalanan RUU ini. Bahkan pertentangan itu demikian tajam hingga menimbulkan beragam aksi unjuk rasa, tidak saja di Jakarta tetapi di sejumlah daerah.

Rancangan undang-undang yang mengatur industri musik itu telah melahirkan pro dan kontra pada awal 2019. Penolakan terus muncul karena RUU Permusikan dianggap mengekang kreativitas musisi serta berpotensi disalahgunakan pihak tertentu.

Menyadari demikian besar pro dan kontra, sebenarnya para pengusul dan penggagas RUU Permusikan telah berusaha keras untuk meyakinkan mengenai sisi positif RUU ini. Tetapi upaya itu tidak juga meredam mereka yang menolak atau menentang.

Akhirnya, Anang Hermansyah selaku salah satu pengusul resmi "mengalah" dengan cara menarik usulan RUU Permusikan di Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 7 Maret 2019. Anggota Komisi X DPR itu menarik usulannya, dua hari menjelang Hari Musik Nasional pada setiap 9 Maret.

Menurut Anang, langkah itu dilakukan sebagai respons terhadap masukan dan tanggapan dari seluruh pihak terkait industri musik Tanah Air. Yang pasti agar tidak ada pertentangan yang berkepanjangan.

“Agar terjadi kondusivitas di seluruh ekosistem musik di Indonesia," ujar Anang waktu itu.

Dia menyadari bahwa sebagai wakil rakyat yang berasal dari ekosistem musik, wajib hukumnya menindaklanjuti aspirasi dari pihak terkait. Sama halnya saat mengusulkan RUU Permusikan juga berpijak pada aspirasi dan masukan dari pihak terkait (stakeholder).

Namun ketika harus menariknya dari Badan Legislasi, maka langkah itu juga hal yang wajar di tengah polemik yang terjadi di kalangan dunia permusikan. Ini proses konstitusional yang lazim dan biasa saja.

Meski secara resmi para inisiator dan pengusul RUU Permusikan mengusulkan penarikan ke Baleg DPR, tetapi usul itu belumlah menjadi keputusan institusi Baleg. Itu baru merupakan usul personel yang masih harus ditindaklanjuti oleh Baleg.

Gembira
Kabar ditariknya RUU Permusikan menyeruak pada 17 Juni 2019. Kabar ini disambut gembira komunitas-komunitas musik.

Tak hanya yang semula menentang, Anang Hermansyah juga menyambut positif kesepakatan DPR bersama pemerintah yang menarik RUU Permusikan dari daftar Prolegnas Prioritas 2019. Langkah ini sejalan dengan aspirasi dari pihak terkait dunia musik di Indonesia.

Musisi asal Jember ini menuturkan pada 6 Maret 2019, sebagai inisiator RUU Permusikan, dia mengirimkan secara resmi surat penarikan RUU Pemusikan dari daftar Prolegnas. Dalam surat tersebut dia menyampaikan dua poin alasan penarikan RUU Permusikan, yakni karena tanggapan dan masukan dari komunitas musik di tanah air terhadap sejumlah substansi materi RUU.

Alasan yang kedua, rencana musyawarah besar (mubes) musik di Indonesia untuk menyamakan persepsi terkait persoalan yang terjadi di musik di Indonesia juga dijadikan alasan penarikan RUU Permusikan dari Prolegnas. Disepakati akan digelar mubes musik di Indonesia untuk mencari titik temu atas persoalan yang muncul di dunia musik.

Anang menyebutkan usulan RUU Permusikan merupakan aspirasi yang muncul dari stakeholder musik untuk menjawab berbagai persoalan dari hulu hingga hilir yang terjadi di pihak terkait nasional. Namun dalam perjalanannya terdapat substansi materi RUU yang keluar dari khitah musik khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi dan berkarya.

Karena itu, tak ada jalan lain, RUU ini harus ditarik. Diharapkan rencana pertemuan pemangku kepentingan musik di Indonesia melalui mubes ekosistem musik dapat segera terselenggara guna merespons persoalan yang terjadi di sektor musik di Indonesia.

Karut-marut di sektor musik harus direspons secara komprehensif oleh komunitas musik di Tanah Air. "Bentuknya penyikapannya seperti apa, mari kita rembug bersama melalui musyawarah," kata Anang.

Dua Alasan
Dalam diskusi terkait RUU Permusikan di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, di Jakarta, beberapa waktu lalu, Bivitri Susanti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyebutkan dua alasan mengapa RUU Permusikan perlu dicabut.

Pertama, karena rancangan undang-undang ini secara substansi kelihatannya memuat banyak hal yang tidak sesuai dengan UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat. Padahal kebebasan pendapat itu merupakan salah satu sisi HAM.

Kedua, RUU Permusikan juga kurang mengatur hal yang sebetulnya dibutuhkan di dunia permusikan. Kalangan musik merasa RUU ini kurang memberikan solusi yang sebetulnya dibutuhkan oleh mereka.

Bivitri menilai dua hal tersebut terjadi karena minimnya partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan yang bergerak di dunia permusikan, ketika rancangan ini diusulkan. Karena baru satu atau dua pihak saja yang pada awalnya berdiskusi tentang RUU ini, kemudian dibahas di badan keahlian DPR.

Bivitri menambahkan bahwa Badan Keahlian DPR terdiri atas sejumlah pakar dan staf ahli (bukan anggota DPR) yang memang memiliki sistem atau cetak biru mengenai penyusunan undang-undang. Maka secara substantif memang tetap harus mendengar pendapat para pemangku kepentingan di bidang musik.

Karena mereka yang lebih paham mengenai persoalan di lapangan.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019