Surabaya (ANTARA News) - Pendiri Lembaga Konsumen Media (LKM) Sirikit Syah menilai pers nasional saat ini sudah mulai dapat belajar dari kesalahan pemberitaan. "Dulu, pers tidak pernah salah, karena pejabat langsung telepon, sehingga saat era reformasi menjadi liar," katanya kepada ANTARA News di Surabaya, Jumat. Ia mengemukakan hal itu terkait Hari Pers Nasional pada 9 Februari yang selama ini dicanangkan PWI, sedang AJI merujuk Hari Pers Internasional pada setiap 4 Mei. Menurut pengamat media dan penggerak peace journalism di Jawa Timur itu, kebebasan yang liar sejak era reformasi agaknya menjadi pengalaman berharga. "Karena itu, saya melihat pers nasional sekarang sudah sangat bagus, karena dia sudah dapat belajar dari kesalahannya," katanya. Penerima fellowship dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK) Jepang (1988) itu mencontohkan kasus cover Majalah TEMPO edisi 50/XXXVI/04-10 Februari 2008. "TEMPO sering tertimpa kasus dan sering melayani hingga ke pengadilan, tapi dalam kasus cover yang diprotes umat Katholik itu, TEMPO minta maaf," katanya. Hal serupa, kata Sirikit Syah yang juga salah seorang pimpinan STIKOSA-AWS Surabaya itu, juga sudah menjadi pelajaran bagi pers nasional. "Jadi, pers nasional sudah lepas dari kebebasan yang liar. Mereka sudah belajar bertanggungjawab sendiri dengan belajar dari kesalahan-kesalahannya," katanya. Namun, kata alumnus West Minster University (2002) yang juga penerima Hubert H. Humphrey Foundation (1994) itu, konglomerasi merupakan titik lemah pers. "Media cetak sekarang dipegang dua kelompok besar. Hal itu akan membuat suara pers menjadi hanya dua suara, sehingga suara yang berbeda sulit muncul," katanya. Selain itu, kata penerima penghargaan "Ashoka" Jepang (2002) dengan LKM-nya itu, konglomerasi pers juga membuat pers rentan dipermainkan politisi. "Kalau pers sudah dikendalikan politisi dengan satu suara, maka hal itu merugikan rakyat, karena itu kita harus mendorong munculnya media massa independen, meski tak sebesar dua kelompok besar itu," katanya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008