Yogyakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pilot Garuda (APG) didukung oleh Federasi Pilot Indonesia (FPI) mengancam mogok, jika Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan terhadap Capten Pilot Marwoto Komar. Marwoto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan pesawat Garuda Boeing 737 nomor penerbangan GA 200 di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta, Maret tahun lalu. "Atas kriminalisasi pilot tersebut secara psikologis sangat mengganggu, karena profesi kami ini berbeda dengan profesi lainnya. Saat menjalankan profesi, kami berada dalam tiga dimensi yang berbeda," kata Presiden APG, Stefanus, di Yogyakarta, Kamis. Ia mengatakan, Polri tidak seharusnya melakukan penyidikan terhadap Marwoto Komar hanya dengan didasarkan hasil investigasi Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tetapi harus melalui jalur profesi terlebih dulu. "Kami akan terus mendesak Polri agar Marwoto dapat dibebaskan dari kasus tersebut, karena kejadian ini akan berdampak terhadap kami dalam menjalankan profesi. Dan jika diperlukan kami siap untuk mogok menjalankan profesi sebagai pilot," katanya. Dikatakannya, tujuan investigasi kecelakaan pesawat yang dilakukan KNKT sesuai dengan Annex 13 ICAO `Aircraft Accident Investigation` adalah untuk mencegah agar kecelakaan pesawat tidak terulang kembali. "Investigasi tersebut bukan untuk mencari kesalahan dan menuntut ganti rugi, apalagi sampai kriminalisasi kecelakaan pesawat," katanya. Jika hasil investigasi KNKT dijadikan dasar untuk tuntutan pidana dan perdata, lanjutnya, maka keterbukaan hasil investigasi ini akan menjadi kontraproduktif terhadap upaya peningkatan keselamatan penerbangan. "Kasus kriminalisasi kecelakaan pesawat pernah terjadi di Jepang dan menimbulkan reaksi keras dari Federasi Penerbang Internasional (IFALPA) dan Federasi ATC Internasional (IFATCA)," katanya. Kasus tersebut terjadi 31 Januari 2001 dimana dua pesawat Jet Japan Air Lines (JAL) hampir bertabrakan di atas Yaizu. Pesawat menghindari tabrakan dengan membuat manuver yang tiba-tiba, sehingga para penumpang terluka karena berbenturan di dalam pesawat. Kasus ini terjadi karena satu pesawat mengikuti instruksi ATC dan pesawat yang lain mengikuti instruksi alat pencegah tabrakan otomatis (TCAS), sehingga dua pesawat bukan menjauh tetapi malah makin mendekat. Berdasar investigasi KNKT Jepang, polisi membawa kasusnya ke kejaksaan yang kemudian menuntut ATC dan penerbang JAL 907 ke pengadilan. "IFALPA dan IFATCA menyatakan bahwa dengan membawa kasus ini ke pengadilan, Pemerintah Jepang bukan meningkatkan keselamatan penerbangan tetapi justru akan menurunkan jaminan keselamatan penerbangan dengan menciptakan ketakutan terhadap investigasi yang diwajibkan secara internasional. Dari sini kemudian pemerintah Jepang membatalkan segala tuntutan hukum," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008