Jakarta (ANTARA News) - Sejak berkuasa di Indonesia dengan berbekal Supersemar hingga wafatnya, Soeharto terus menjadi bahan pembicaraan kontroversial.
Sepekan setelah wafatnya presiden kedua RI, yang memimpin Indonesia selama 32 tahun itu, giliran sampul majalah Tempo yang diprotes umat Katolik.
Soalnya, sampul itu bergambar keluarga Soeharto yang berkegiatan mirip dengan lukisan "Perjamuan Terakhir" dan hal itu oleh umat Katolik dianggap menghina kepercayaan mereka.
Ketika Soeharto dirawat di rumah sakit sejak 4 Januari hingga wafatnya pada 27 Januari, pendapat pro dan kontra juga terus bermunculan, termasuk pro dan kontra mengenai peliputan oleh media massa yang gencar hingga pemakaman Soeharto pada 28 Januari.
Bagi banyak orang, kenyataan itu juga cermin bahwa selama Soeharto menjadi presiden kedua, mulai 1967 hingga 21 Mei tahun 1998, banyak yang terjadi di sekitar dia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kegiatan Soeharto yang banyak mendapat perhatian, salah satunya, adalah ketika pada awal dasawarsa 1990-an dia berkunjung ke kawasan Bosnia saat perang saudara Bosnia-Herzegovina bergolak.
Ketika itu, dia ingin menunjukkan simpati kepada kaum Muslim di sana, yang dalam posisi sebagai minoritas menjadi bulan-bulanan kelompok etnis lain.
Walaupun ketika itu di sana terdapat banyak faksi yang sulit ditebak posisinya, Soeharto memutuskan pergi ke Bosnia untuk menengahi konflik yang telah menimbulkan korban jiwa ribuan orang itu.
Pada awal Maret 1995, Soeharto, yang seperti biasa didampingi beberapa pembantu terdekatnya, seperti Mensesneg Moerdiono dan Menlu Ali Alatas mengadakan lawatan ke Eropa.
Dalam agenda kunjungan itu, Soeharto juga akan ke Sarajewo, ibukota Bosnia, yang ketika itu menjadi kawasan perang yang brutal.
ABRI mengirimkan pasukan pendahulunya untuk menyiapkan kedatangan Soeharto beserta rombongan ke Bosnia, termasuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Bosnia serta berbagai faksi yang sedang berseteru.
Ketika rombongan Presiden RI tiba di Eropa, belum ada kepastian bisa tidaknya rombongan itu ke Bosnia. Dalam suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik PBB yang melintas di Bosnia ditembak jatuh pada 11 Maret 1995.
Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia tersebut.
Namun, Soeharto memutuskan tetap pergi ke medan tempur itu pada 13 Maret, atau dua hari setelah pesawat PBB ditembak jatuh.
Persiapan pun terus dilaksanakan, mulai menyiapkan substansi pertemuan hingga persiapan pengamanan.
Puluhan wartawan yang menjadi bagian rombongan kunjungan presiden pun berharap bisa ikut penerbangan "berani mati" ke kawasan yang ketika itu sedang diwarnai pertumpahan darah itu.
Maka, mulai lah banyak rayuan yang disampaikan ke Moerdiono, penanggung jawab perjalanan, agar bisa masuk dalam daftar yang ikut ke Sarajevo, ibukota Bosnia.
Upaya rayu-merayu itu berjalan alot, karena sudah dipastikan bahwa jumlah rombongan yang akan ikut Soeharto ke Bosnia itu sangat terbatas.
Akhirnya Moerdiono memutuskan bahwa hanya dua wartawan yang akan ikut terbang ke Bosnia, yakni dari LKBN ANTARA serta RRI.
Alasan pemilihan itu akhirnya dapat diterima oleh puluhan wartawan lainnya. Dua wartawan itu kemudian mendapat tugas untuk membuat laporan kepada teman-teman wartawan yang tidak ikut dalam penerbangan itu, walaupun ketika itu belum diketahui cara melaporkan berita kepada mereka dan kepada redaksi masing-masing.
'Kontrak mati'
Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, pada 13 Maret 1995.
Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang wanita petugas PBB, serta 14 orang Indonesia.
Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk ANTARA dan RRI.
Para wartawan yang tinggal di Kroatia kemudian menyalami ANTARA dan RRI di tangga pesawat dan pada wajah-wajah mereka tampak jelas kekhawatiran atau ketakutan akan nasib rombongan ini. Mungkin juga, perasaan kurang beruntung karena mereka tidak bisa turut.
Tidak lama setelah pesawat PBB itu tinggal landas dari Kroasia, seluruh rombongan mendapat sebuah formulir berbahasa Inggeris yang harus ditandatangani semua orang, termasuk Soeharto.
Formulir itu berupa penegasan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu.
Walau sempat ragu-ragu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menandatangani kontrak itu. Terlihat juga Soeharto, Moerdiono, Ali Alatas membubuhkan tanda tangannya dalam formulir tersebut.
Setelah terbang sekitar satu jam, akhirnya pesawat buatan Rusia itu mendarat dengan mulus di Sarajevo.
Sambil mengenakan rompi anti peluru ANTARA pun dengan tergesa keluar pesawat agar bisa memotret Soeharto turun dari pesawat.
Ketika itu, Soeharto mendapat pengawalan sangat ketat oleh pasukan bersenjata PBB serta Paspampres.
Kemudian anggota rombongan diperintahkan segera masuk ke kantor PBB di bandara itu sambil menunggu persiapan ke kantor pemerintah setempat di tengah kota.
Untuk rombongan itu, PBB menyediakan beberapa kendaraan lapis baja pengangkut personel (armoured personel carrier/APC).
Soeharto yang juga naik APC disertai ajudan dan pengawal serta seluruh anggota rombongan kemudian berangkat ke pusat kota Sarajevo dengan mendapat pengawalan yang super ketat.
Begitu sampai di pusat pemerintahan Bosnia, Soeharto langsung mengadakan pertemuan tertutup dan anggota rombongan lainnya tidak diperkenankan pergi ke tempat lain agar terhindar dari kemungkinan serangan bersenjata dan penembak gelap.
Sambil menunggu, ANTARA dan RRI mulai gelisah karena tidak tahu cara untuk mengirim berita. Akhirnya berkat bantuan juru foto Saidi, kedua wartawan ini bisa berbicara dengan Dan Grup A Paspampres Kolonel Sjafrie untuk memakai pesawat telepon langsung yang disiapkan untuk Soeharto.
Tanpa memakai kode akses lokal atau internasional, giliran pertama diberikan kepada wartawan RRI untuk langsung menelepon ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Ketika itu dia langsung bisa mengudara dan laporan berita olah raga yang ketika itu, sekira pukul 20.10 WIB, sedang disampaikan RRI di sela laporan langsung dari Bosnia.
Kemudian giliran ANTARA menelepon ke Jakarta dan dilanjutkan ke wartawan-wartawan yang menunggu di Kroasia untuk memberikan laporan mengenai kunjungan Soeharto di negeri yang sedang berperang itu.
Pengalaman mengirim berita dari medan perang itu bakal tak terlupakan.
Setelah Soeharto berunding dengan pejabat-pejabat tinggi Bosnia, akhirnya rombongan kembali ke bandara untuk selanjutnya terbang lagi ke Kroasia.
Namun ANTARA dan RRI ternyata tidak bisa lagi satu pesawat dengan Soeharto karena ada dua jenderal TNI yang datang mendahului Soeharto harus ikut satu pesawat dengan presiden.
Dengan bantuan seorang letnan kolonel Paspampres, ANTARA dan RRI hari itu juga bisa bergabung dengan menggunakan pesawat PBB yang mengangkut ratusan prajurit PBB yang akan istirahat di Kroasia.
Malam itu juga, kedua wartawan ini tiba di Kroasia. Tepuk tangan meriah diberikan wartawan lain ketika mereka melihat dua wartawan itu sudah berada di lobi hotel dengan selamat.
Perjalanan Soeharto ke medan perang itu, walaupun tidak diikuti dengan konperensi internasional mengenai penyelesaian masalah Bosnia seperti direncanakan, semula tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah.
Lawatan itu akhirnya menghasilkan berdirinya sebuah mesjid megah di ibu kota Bosnia yang merupakan hasil penyaluran bantuan banyak dermawan asal Indonesia.
Presiden Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufiq Kiemas beberapa tahun kemudian mengunjungi masjid tersebut. (*)
Oleh Oleh Arnaz Ferial Firman
Copyright © ANTARA 2008