Jakarta (ANTARA) - Polda Metro Jaya mengindikasikan melarang aksi halal bi halal di depan Mahkamah Konstitusi (MK) yang rencananya akan digelar oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 pada Rabu, 26 Juni 2019, karena berpotensi mengganggu ketertiban umum.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono menerangkan bahwa aksi di jalan protokol depan MK oleh pihak manapun, dilarang karena melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, pasal 6, yang bisa mengganggu ketertiban umum dan hak orang lain.

"Belajar dari insiden di Bawaslu pada 21-22 Mei 2019 lalu, meski disebutkan aksi super damai tetap saja ada perusuhnya. Diskresi kepolisian disalah gunakan," kata Argo pada Antara dalam pesan singkatnya yang diterima di Jakarta, Selasa.

Argo mengimbau pada semua pihak yang memiliki rencana untuk menggelar halal bi halal agar dilaksanakan di tempat lain seperti di gedung-gedung atau di rumah masing-masing.

Selain menjaga ketertiban, tujuannya juga agar proses persidangan di MK bisa berjalan dengan baik dan lancar.

"Biarkan hakim MK bekerja tanpa tekanan karena semua persidangannya terbuka sudah dicover banyak media secara langsung dan hasil keputusannya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME," ucap Argo.

Sementara itu, PA 212 tetap akan menggelar aksi halal bi halal di depan gedung MK sebagai bagian dari mengawal proses persidangan gugatan Pilpres meski tidak ada izin kepolisian.

Ketua Divisi Hukum PA 212 Damai Hari Lubis mengatakan sesuai peraturan undang- undang unjuk rasa untuk menggelar aksi cukup adanya pemberitahuan kepada aparat kepolisian.

"Cukup adanya pemberitahuan. Bukan izin dari kepolisian. Informasi yang kami dapatkan dari panitia perihal surat pemberitahuan oleh penyelenggara halal bi halal alumni akbar 212 sudah diberikan kepada aparat yang berwajib," kata Lubis.

Lebih lanjut, dia mengatakan dalam aksi damai ini diperkirakan massa yang akan hadir ke Jakarta hampir satu juta orang.

"Diperkirakan minimal satu juta peserta atau lebih," ucap dia.

Lubis meyakini bahwa satu juta massa tersebut akan melalukan aksi secara damai. Bahkan, pihaknya juga sudah melakukan siaga untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan.

"Tidak boleh melakukan anarki. Bila ada maka itu adalah tanggung jawab pribadi pelaku anarki dan proses penanggulangan dan antisipasinya menjadi kewenangan dan tanggung jawab pihak keamanan negara," tuturnya.

Baca juga: Beda sidang MK 2014 dengan 2019 menurut Wapres JK

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan akan memajukan jadwal pembacaan putusan untuk perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden (sengketa Pilpres) 2019, yang semula dijadwalkan pada Jumat (28/6) menjadi Kamis (27/6).

Polda Metro Jaya (PMJ) pun menegaskan siap mengamankan sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kapanpun waktu yang ditentukan oleh lembaga pengadil perselisihan pemilu tersebut.

"Kita tunggu saja kapan pembacaan putusan Polda siap mengamankan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono saat dikonfirmasi Antara di Jakarta, Senin (24/6) malam.

Sebanyak 47 ribu aparat gabungan dari kepolisian, TNI dan pemerintah daerah disiagakan untuk mengamankan objek-objek vital di Ibu Kota, DKI Jakarta menjelang putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) oleh Mahkamah Konstitusi.

Jumlah kekuatan yang disiagakan terdiri dari TNI sebanyak 17 ribu personel, kepolisian 28 ribu dan pemerintah daerah dua ribu.

Khusus untuk pengamanan di lingkungan dan Gedung MK, terdapat sebanyak 13 ribu personel kepolisian.

Sisanya sebanyak 15 ribu berjaga di objek-objek vital nasional lain, seperti Istana Kepresidenan, Kantor KPU RI, Kantor Bawaslu RI dan perwakilan kedutaan besar asing yang ada di Jakarta.

Baca juga: Pedagang Sabang berharap suasana aman jelang dan setelah putusan MK

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019