Pekanbaru (ANTARA) - Pengawal adat di Kabupaten Kampar, yang disebut Dubalang, kini ikut menjaga hutan di kawasan Bukit Rimbang Baling, sebagai bentuk partisipasi masyarakat adat untuk kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia yang tersisa di Provinsi Riau itu.
“Dubalang disepakati bersama untuk menjaga hutan larangan. Jangankan untuk tebang kayu, ambil akar saja tidak diperbolehkan,” kata Kepala Desa Tanjung Belit, Efri Desmi kepada Antara di Pekanbaru, Selasa.
Desa Tanjung Belit lokasinya di Kecamatan Kampar Kiri berbatasan dengan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, sebagian wilayahnya berupa hutan yang masuk ke kawasan konservasi tersebut. Pada 2018, masyarakat desa dan pemuka adat (ninik mamak) sepakat menjadikan hutan di daerah Tanjung Belit menjadi hutan larangan.
“Hutan larangan itu seluas 300 hektare yang diatur dalam Peraturan Desa tahun 2018 tentang Hutan Larangan Kenagarian Desa Tanjung Belit. Aturan itu berisi penetapan, pengelolaan dan penjagaannya,” katanya.
Penetapan Dubalang menjadi penjaga hutan atau semacam jadi polisi kehutanan dari adat baru disepakati pada awal 2019. Kesepakatan itu juga diketahui oleh Balai Besar Konservsasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan WWF Program Riau. “Sekarang kami sedang meminta agar hutan larangan Kenagarian Tanjung Belit ini mendapat pengakuan dari pemerintah,” ujarnya.
Pengakuan adat untuk menjaga hutan di Desa Tanjung Belit sangat penting untuk kelestarian Suaka Margasatwa Rimbang Baling secara langsung maupun tidak. Sebabnya hutan di Tanjung Belit merupakan daerah penyangga kawasan konservasi dan 150 hektare dari hutan larangan tersebut masuk dalam suaka margasatwa Rimbang Baling.
Datuk Godang Defrizarman, ninik mamak Kenagarian Tanjung Belit, mengatakan Dubalang sejatinya merupakan pengawal adat yang berfungsi sebagai penghubung antarpemuka adat, pengawal raja dan jadi garda terdepan untuk membahas permasalahan terkait adat istiadat. Namun, karena ada kesepakatan dengan masyarakat, maka tugas Dubalang kini juga menjaga hutan adat di kawasan Rimbang Baling.
“Jadi sebelum bulan puasa tahun ini disepakati ada 10 Dubalang untuk menjaga hutan larangan. Enam orang Dubalang dari Ninik Mamak, dan sisanya Dubalang dari pemuda dan aparatur desa,” katanya.
Menurut dia, hutan larangan Tanjung Belit bentuknya mengelilingi sumber-sumber air, hutan, habitat satwa dan air terjun Batu Dinding. Menjaga hutan tersebut tidak hanya melindungi kepentingan jangka panjang kelestarian lingkungan, melainkan juga untuk melindungi potensi pariwisata yang kini terus ditingkatkan di daerah tersebut. “Karena ada illog (illegal logging/pembalakan liar-Red) hutan larangan adat harus ditetapkan,” katanya.
Sementara itu, Kepala BBKSDA Riau Suharyono menyambut baik peran Dubalang karena ikut meringankan beban pemerintah yang masih kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Dubalang tersebut akan menjadi mitra polisi kehutanan, perbedaannya adalah mereka tidak punya kewenangan polisional untuk menangkap dan menyidik. “Kita sangat menyambut baik karena jumlah personel kita di Rimbang Baling sangat sedikit,” katanya.
Komitmen masyarakat untuk menjaga hutan juga diharapkan karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah menyetujui pembangunan jalur interpretasi sepanjang sekitar 37 kilometer di sembilan desa di Rimbang Baling. Harapannya setiap desa mau berpartisipasi menjaga agar jalur tersebut tidak disalahgunakan untuk kejahatan lingkungan.*
Baca juga: Jalur kecil yang wujudkan mimpi puluhan tahun warga Rimbang Baling
Baca juga: Riau rancang wisata konservasi di habitat harimau Bukit Rimbang Baling
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019