Selama ini kinerjanya, kalau kata orang Jawa, seolah-olah balapan menangkap penjahat atau koruptor, tapi tidak punya target

Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, Solehudin menyatakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 harus memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni dan tepat sasaran memberantas korupsi, terutama strategi pencegahan.

"Sebagai lembaga ad hoc, KPK seharusnya diberi target. Misalnya, keberadaan lembaga ini ditargetkan selama 50 tahun yang ditetapkan dalam undang-undang," kata Solehudin di Jakarta, Senin.

Solehudin mengatakan pimpinan KPK selama menjabat empat tahun memiliki target sehingga setelah 50 tahun tugas KPK dapat dikembalikan kepada Polri dan kejaksaan.

Menurut Solehudin, selama ini KPK tidak memiliki target dalam bekerja dan terlihat cenderung mengedepankan ego kelompoknya.

"Selama ini kinerjanya, kalau kata orang Jawa, seolah-olah balapan menangkap penjahat atau koruptor, tapi tidak punya target," ujar Solehudin.

Selaras dengan arahan Presiden, Solehudin menjelaskan, pimpinan KPK periode 2019-2023 harus memiliki kemampuan manajerial yang baik saat memimpin lembaga penegak hukum independen.

Dikatakan pakar pidana umum bergelar profesor itu, kemampuan manajerial tersebut tidak hanya untuk internal organisasi KPK, namun juga kemampuan manajerial dalam membangun hubungan yang baik dengan institusi penegak hukum lainnya.

Karena salah satu fungsi KPK adalah monitoring dan supervisi terhadap institusi-institusi penegak hukum lainnya.

"Pimpinan KPK juga harus mempunyai kemampuan yang mumpuni di bidang kehumasan," tutur Solehudin.

Solehudin mencontohkan, pimpinan KPK harus memiliki pengalaman minimal 15 tahun pada bidang penegakan hukum, terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi, usianya di atas 40 tahun, tidak terikat pada salah satu partai politik, dan jabatan profesinya harus dilepaskan selama menjadi komisioner.

Terkait "assessment" yang dilakukan Mabes Polri terhadap para perwira tinggi (Pati) Polri yang ingin mengikuti seleksi calon pimpinan (Capim) KPK, Solehudin menilai kebijakan itu melanggar UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Menurut UU tentang KPK, kata dia, pendaftaran capim KPK dilakukan secara personal, bukan institusional sehingga institusi penegak hukum tidak boleh mengirimkan pegawainya untuk mengikuti seleksi capim KPK.

"Calon pimpinan KPK itu sistem rekruitmennya bersifat personal, bukan institusional," ucap Solehudin, menyebutkan.

Solehudin khawatir jika institusi penegak hukum seperti kepolisian mengirimkan personalnya menjadi capim KPK akan mengkooptasi ketika menjadi pimpinan KPK.

KPK juga dikhawatirkan akan bisa dikendalikan oleh lembaga lain, padahal KPK bersifat independen dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun, termasuk presiden.

Sementara anggota panitia seleksi (Pansel) capim KPK, Hendardi mengungkapkan kandidat yang mendaftar seleksi capim KPK sebanyak 23 orang hingga Sabtu (22/6).

Dari jumlah total yang mendaftar, kata Hendardi, Pansel akan memilih sepuluh kandidat terbaik yang kemudian diserahkan ke presiden untuk selanjutnya mengikuti "fit and profert test" di DPR.

Pansel Capim KPK juga bekerja sama dengan sejumlah lembaga negara lainnya seperti MA, BNPT, BIN, dan BNN.

Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019