Jakarta (ANTARA News)- Bank Indonesia (BI) kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga acuannya, BI Rate, sepanjang tahun ini yang berada pada angka delapan persen, karena kecenderungan masih tetap tingginya laju inflasi. "Kecenderungan tingginya inflasi mengakibatkan BI tidak berani menurunkan BI Rate yang bercokol pada level delapan persen," kata Private Banking Group Head PT Bank Niaga, Maryadi Aryo Laksmono, kepada pers di Jakarta, Selasa. Jadi, lanjut Maryadi, prediksi BI akan menurunkan BI Rate sebanyak dua kali dalam tahun ini diperkirakan akan mengalami kesulitan. Karena itu, selisih bunga rupiah terhadap bunga dolar yang tinggi (8-3) akan memicu investor asing dengan aktif menempatkan dana di pasar domestik, seperti di Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), katanya. Akibatnya, menurut dia, dana asing yang ditempatkan dalam jangka pendek itu akan semakin besar yang membuat pemerintah semakin repot untuk membiarkan bunganya yang cukup besar. Pemerintah harus bisa mengalihkan dana jangka pendek itu ke jangka panjang, dengan membuat implementasi infrastruktur berjalan dengan baik. Karena investor asing selama ini menunggu dan melihat apakah implementasi infrastruktur yang dibuat pemerintah sudah berjalan sebagaimana mestinya atau tidak, katanya. Menurut dia, investor asing sebenarnya sangat berminat untuk menginvestasikan dananya dalam jangka panjang di pasar domestik, baik investor Amerika Serikat, Eropa maupun Jepang serta negara-negara Asia lainnya, namun mereka melihat lebih dulu iklim investasinya, keamanan dan kenyamanan serta prasarana yang ada. Selain itu, minat investasi asing juga terhalang oleh gejolak alam seperti banjir, ujarnya. Ia mengatakan, investor lokal juga kemungkinan akan aktif mencari pinjaman baru dari bank, karena kecenderungan tingkat suku bunga menurun merupakan salah satu faktor yang memicu permintaan kredit meningkat. Debitur selama ini menahan diri untuk mencari modal kerja di bank, karena tingkat suku bunga yang tinggi mengakibatkan mereka merasa segan mengambil pinjaman dari bank, katanya. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 6,8 persen sebenarnya dapat dicapai dengan baik, katanya, apabila pemerintah memfokuskan perhatian pada kebutuhan pangan, karena Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur. Dengan memfokuskan ke sektor pangan itu, maka pemerintah akan bisa mengurangi impor bahan pangan bahkan bisa melakukan ekspor ke berbagai negara, ucapnya. Sementara itu, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2008 sedikit menurun mendekati batas kisaran perkiraan sebelumnya 6,2-6,8 persen, sementara itu perkiraan inflasi naik dari sebelumnya 4-6 persen menjadi 6-6,5 persen. Perubahan ini dilakukan, karena krisis gagal bayar kredit sektor perumahan di AS (Subprime Mortgage) mengakibatkan pertumbuhan ekonomi global cenderung melambat. (*)
Copyright © ANTARA 2008