Chiba, Jepang (ANTARA News) - Pengadilan Negeri Chiba, Jepang, Senin, menunda putusan vonis terhadap Rosita Yulia Patricia Rembeth (50), terdakwa otak penyelundupan warga Indonesia ke Jepang, karena masih harus mendengarkan pemeriksaan lebih jauh terhadap staf Kedubes Jepang di Jakarta itu.Hakim Ketua Pengadilan Negeri Chiba, Hiko Saka, memutuskan untuk menunda persidangan, setelah mendengarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Takagaki Yohei dan juga pembelaan dari penasehat hukum Rosita Rembeth, Nozita, serta dari terdakwa sendiri. "Sidang ditunda hingga 26 Maret mendatang," kata hakim dan langsung menutup sidang serta bergegas meninggalkan ruang persidangan yang berukuran 10X7 meter itu. Jaksa Takagaki, menuntut Rosita 3,6 tahun penjara ditambah kerja paksa dan denda sebesar 1,5 juta Yen. Rosita juga didakwa sebagai aktor bagi upaya penyelundupan warga Indonesia ke Jepang pada awal September 2007. Upaya tersebut merupakan perbuatan pidana dan melanggar hukum Jepang. "Apa yang dilakukan terdakwa dilakukan secara tersistematis, dan diketahui menerima uang jasa dari para korban," kata Takagaki. Jaksa juga menilai Rosita mengetahui banyak praktek tersebut, karena posisinya yang bekerja sebagai kedutaan besar Jepang di Jakarta. Jaksa juga menuduh Rosita sebagai pemain yang profesional. Tuduhan yang sama juga dikenakan terhadap terdakwa lainnya, Carrand Christo Tangka (39) yang sudah menerima vonis lebih dulu, Senin siang (4/2), berupa hukuman penjara selama 2,8 tahun dan denda dua juta Yen serta kerja paksa. Tangka dan Rosita dituduh sebagai otak bagi upaya penyelundupan warga Indonesia ke Jepang, karena dilakukan secara berencana, menerima uang dari para korban sebesar Rp55 juta dan menjanjikan pekerjaan di Negeri Sakura itu. Fakta MeringankanSementara itu, penasehat hukum Rosita Rembeth, Akira Kitamura dalam persidangan mengemukakan sejumlah fakta yang berupaya meringankan tuntutan jaksa, seperti telah bekerja di kedutaan besar Jepang selama 30 tahun dan selama itu tidak pernah berbuat salah. "Perbuatan ini juga dilakukan baru pertama kali serta memiliki anak-anak yang bergantung padanya," kata Kitamura lagi. Usai mendengarkan penjelasan dari masing-masing pihak, Hakim Ketua kemudian mempersilahkan terdakwa menyampaikan pembelannya. Rosita yang sejak tadi hanya bisa menangis meminta berkali-kali ke pengadilan agar jangan dipisahkan dari anak-anaknya. "Saya salah pak hakim, saya menyesal sekali. Saya tidak menyangka kalau kejadiannya akan panjang seperti ini. Saya mohon agan saya diizinkan tetap berkumpul dengan anak-anak saya," pinta Rosita lagi dengan airmata yang terus bercucuran. Rosita juga mejelaskan bahwa dirinya pernah bercerai dan kini ketakutan menghadapi kemungkinan diceraikan lagi oleh suami keduanya. Tangka, pramugara Garuda Indonesia, dan Rosita dinilai sebagai otak perdagangan manusia karena melakukannya secara terang-terangan, meski mengaku hanya untuk "membantu" teman-temanya mencari pekerjaan. Peradilan juga disaksikan Kepala Fungsi Konsuler KBRI Tokyo Air Radjab Harahap beserta sejumlah staf KBRI lainnya. Mereka selalu mengikuti jalannya persidangan sejak kasusnya mencuat pada awal September 2007. Hal itu dilakukan untuk memastikan diperolehnya hak-hak terdakwa selama persidangan Jepang. Saat itu, lima warga Indonesia tertangkap oleh aparat Imigrasi bandara Narita yang mencurigai paspor yang dibawa masing-masing. Tiga lainnya ternyata hanya menjadi korban praktek ?human trafficking? tersebut dan sudah dipulangkan pada Desember 2007 dan Januari 2008. "Ini menjadi pelajaran bahwa upaya penyelundupan manusia merupakan kejahatan berat di Jepang dan negara lainnya," katanya. Ia juga menegaskan perlunya WNI memiliki paspor yang sah dan jangan terbuai bujuk rayu untuk memperoleh kemudahan bekerja di Jepang, apalagi dengan iming-iming gaji yang tinggi.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008