Jakarta (ANTARA News) - Mantan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog), Widjanarko Puspoyo, Senin, divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Majelis Hakim menyatakan Widjanarko bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam ekspor beras Bulog ke Afrika Selatan dan penerimaan hadiah dari rekanan Bulog.
"Menyatakan terdakwa bersalah dalam tindak pidana turut serta melakukan korupsi dan menerima hadiah," kata ketua Majelis Hakim Artha Theresia.
Putusan itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu 14 tahun penjara.
Majelis juga menghukum Widjanarko untuk membayar denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
Kemudian, Majelis mengharuskan Widjanarko membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp78,388 miliar. Jika harta benda Widjanarko tidak mencukupi untuk membayar maka Widjanarko harus menggantinya dengan pidana penjara selama dua tahun.
Sebelumnya, Widjanarko Puspoyo didakwa melakukan tiga tindak pidana korupsi ketika menjabat sebagai Kepala Bulog.
Dalam dakwaan kesatu primer yang disampaikan JPU sebelumnya, Widjanarko dijerat dengan menggunakan pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 seperti diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam kasus impor sapi Australia pada 2001.
Pengadaan sapi itu tidak terwujud, dan sapi jaminan dari rekanan bulog tidak bisa diambil alih.
Pengadaan sapi dilakukan Bulog bekerja sama dengan PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan PT Surya Bumi Manunggal (SBM).
Untuk keperluan itu, Widjanarko memerintahkan pembayaran kepada kedua rekanan Bulog tersebut, yaitu sebesar Rp4,9 miliar kepada SBM dan Rp6,1 miliar kepada LNP.
Pembayaran tetap dilakukan meski kedua rekanan Bulog tersebut tidak melengkapi syarat perjanjian, yaitu pembukaan garansi bank, pernyataan dari bank bahwa garansi sedang diproses, serta surat bukti kepemilikan sapi jaminan.
Dalam impor sapi itu, JPU juga mendakwa Widjanarko telah menguntungkan orang lain, yaitu dua rekanan Bulog, seperti diatur pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan kesatu subsider.
Majelis Hakim membebaskan Widjanarko dari dakwaan pertama tersebut.
Hakim Efran Basuning ketika membacakan putusan mengatakan keputusan impor sapi tidak dapat dibebankan kepada Widjanarko secara pribadi karena hal itu diputuskan secara bersama oleh pejabat Bulog.
Majelis menilai, segala sesuatu terkait impor sapi adalah keputusan dan inisiatif tim monitoring yang telah dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun, Majelis menyatakan Widjanarko bersalah dalam dakwaan kedua dan ketiga, tentang ekspor beras ke Afrika Selatan dan pemerimaan hadiah oleh rekanan Bulog.
Dalam kasus ekspor beras, Majelis manyatakan Widjanarko bersalah karena telah menetapkan harga ekspor beras tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Hal itu mengakibatkan negara mengalami kerugian hingga Rp78,38 miliar.
Majelis juga menegaskan alasan Widjanarko bahwa alasan ekspor beras adalah untuk mengurangi stok tidak beralasan. Kelebihan stok, menurut Majelis, bisa diatasi dengan mendistribusikan beras tersebut ke beberapa daerah di Indonesia.
JPU mendakwa Widjanarko dalam ekspor beras Bulog sejumlah 50 ribu metrik ton ke Afrika Selatan pada 2005.
Dalam dakwaannya, JPU menyatakan telah terjadi manipulasi harga beras menjadi Rp1.818 per kilogram, berbeda dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 474/KMK.02/2004 yang mengharuskan beras dijual dengan harga Rp3.334 per kilogram.
Akibat perbuatan itu, kata JPU Kuntadi, telah terjadi kerugian keuangan negara senilai Rp78,3 miliar.
Oleh karena itu, JPU mendakwa Widjanarko dengan menggunakan pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primer karena telah merugikan keuangan dan perekonomian negara, serta pasal 3 UU yang sama dalam dakwaan subsider.
Kemudian, Majelis juga menyatakan Widjanarko bersalah karena telah menerima hadiah dari rekanan bulog.
Pola aliran, termasuk pemberi dan penerima aliran, menunjukkan Widjanarko dan keluarganya menikmati pemberian dari rekanan, padahal pemberian itu terkait dengan jabatan Widjanarko.
"Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah seperti yang didakwakan dalam dakwaan ketiga," kata hakim Suharto.
Dalam dakwaan ketiga, JPU menyatakan Widjanarko telah menerima hadiah menerima dalam pengadaan beras hasil kerja sama Bulog dengan Vietnam Southern Food Corporation pada 2001-2002.
Perbuatan itu dinilai melanggar hukum, seperti diatur dalam pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Vietnam Food diduga telah mengirimkan uang sekitar 1,6 juta dolar AS ke PT Arden Bridge Investment (ABI) milik adik Widjanarko, Widjokongko Puspoyo.
Dari PT ABI, uang diduga mengalir ke rekening Widjanarko sebesar 10 ribu dolar AS dan 20 ribu dolar AS pada 7 September 2004 dan 6 Oktober 2004.
Uang juga diduga mengalir untuk penyertaan modal keluarga Widjanarko di PT Samudra Adidaya Sentosa (SAS) sebesar 250 ribu dolar AS dan 118 ribu dolar AS pada Juli dan Agustus 2003.
Selain itu, uang senilai 10 ribu dolar AS, 100 ribu dolar AS, 9.470 dolar AS, serta 2.500 dolar AS mengalir ke rekening Renaldy Puspoyo, anak Widjanarko, pada September 2004.
Uang juga mengalir dalam bentuk rupiah untuk keperluan rumah atas nama Renaldy Puspoyo senilai Rp3 miliar dan Rp809 juta pada Januari 2004 dan Februari 2004.
Puteri sulung Widjanarko, Winda Nindyati, juga diduga menerima aliran uang senilai Rp1 miliar.
Menanggapi putusan tersebut, Widjanarko Puspoyo langsung menyatakan banding. "Keputusan hari ini saya rasa tidak adil," kata Widjanarko yang naik ke atas kursi untuk memberikan keterangan kepada wartawan.
Widjanarko yang mengenakan ke meja putih mengatakan Majelis Hakim tidak mempertimbangkan fakta hukum secara lengkap.
Dia bersikeras tidak bisa disalahkan dalam kasus ekspor beras ke Afrika Selatan karena kegiatan itu sudah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Dia juga merasa Majelis Hakim mendapat beban tertentu di luar koridor hukum dalam membuat putusan.
"Bukan politis, silakan anda tafsirkan sendiri," katanya tanpa memberikan keterangan lebih jauh.
Ketika meninggalkan ruang sidang sekitar pukul 17.00, Widjanarko mendapat pengawalan ketat dari sejumlah orang berbadan tegap yang mengenakan setelan safari warna hitam.
Hal itu cukup menyulitkan wartawan yang hendak melakukan wawancara.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008