Salah satu faktor yang membedakan krisis ekonomi 1997 dari resesi di AS adalah adanya peringatan dini sebelum tsunami krisis benar-benar merusak kestabilan perekonomian. Ketika Baht Thailand berdevaluasi tajam pada 1997 sehingga stabilitas ekonomi regional terusik, Indonesia di bawah Soeharto percaya keagungan perekonomian Indonesia yang konsisten tumbuh tinggi selama tiga dasawarsa tak bakal terusik. Wakil IMF di Jakarta saat itu, Khadim al-Eyd, bahkan mengungkapkan keyakinan bahwa Indonesia tak akan tersapu krisis karena memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Ternyata, seperti telah tertanam kuat dalam memori setiap orang Indonesia kemudian, analisis IMF itu hanya buaian yang malah menjebak Indonesia dalam kurungan krisis. Peringatan dini itu bahkan tak pernah ada, ironisnya pengetahuan bakal adanya krisis justru dimiliki para spekulan yang dengan asyik mengawut-awut perekonomian yang dibangun bertahun-tahun dengan susah payah dan kadang ditukar dengan pengabaian hak-hak sipil itu. Ini berbeda dengan ancaman resesi di AS di mana alarm menyalak lebih awal sebelum krisis total menghantam perekonomian. Presiden George Bush yang pada periode akhir kesinggasanaannya hanya asyik mengejar Iran, Iran, dan Iran, tersentak. Ternyata, bukan nuklir Iran, tapi miskelola ekonomilah yang mengancam AS. Diawali gagal bayarnya para pengijon kredit perumahan --subprime mortgage-- sistem keuangan AS yang terintegrasi bak anatomi tubuh manusia itu demam berat sehingga membuat dunia was-was. Para aktor keuangan segera membunyikan alarm, AS terancam resesi. Merrill Lynch dan Goldman Sachs, dua lembaga investasi ternama AS, adalah yang pertama menyalakan alarm itu. "Data terakhir menunjukkan perekonomian AS akan terperosok dalam resesi," kata para ekonom Goldman Sachs seperti dikutip AFP (9/1). Goldman Sachs dan Merril Lynch melihat eksposur dana bank yang eksesif di properti (perumahan) telah menempatkan sistem keuangan AS berada dalam kesulitan besar. "Ini adalah krisis keuangan terburuk dalam kurun 60 tahun terakhir," kata pialang ulung George Soros dalam Financial Times (22/1). Artinya, resesi ekonomi 1970-an akibat krisis energi menyusul embargo minyak Arab saja berada di bawah skala krisis keuangan sekarang. Hanya Depresi Besar 1930-an yang bisa mengaburkan spektrum kerusakan sistem keuangan AS sekarang. Kini, mekanisme swakoreksi yang disebut mantan Gubernur Federal Reserve (The Fed) Alan Greenspan sebagai keunikan ekonomi AS di mana bengkok-bengkok ekonomi yang timbul bisa dengan cepat diluruskan kembali, sedang bekerja mengatasi ancaman krisis. Pemerintah AS meluncurkan paket stimulus ekonomi senilai 150 miliar dolar AS agar pasar tak lagi gelisah, sementara The Fed menurunkan suku bunga secara drastis tiga basis poin. Keduanya berupaya menstimulasi mekanisme swakoreksi itu. Hanya soal waktu untuk mengetahui apakah ekonomi AS selamat dari ancaman resesi. Pelajaran Selain mekanisme peringatan diri, beberapa hal bisa dipelajari dari krisis keuangan AS, salah satunya akar penyebab krisis yaitu kepercayaan diri kelewat tinggi dari pelaku ekonomi di AS yang telah menurunkan kepekaan dalam menakar risiko. Dalam satu edisinya akhir 2007 lalu, Chicago Tribune melukiskan prilaku para debitur bank sebelum krisis keuangan menghantam AS. Karena terlalu percaya diri pada stabilitas risiko ekonomi itu, mereka mengajukan membeli rumah bukan untuk ditinggali tapi sebagai investasi guna meraih selisih jual antar periode atau sebagai agunan dalam mendapat pinjaman lain untuk kemudian dialokasikan ke sektor yang umumnya konsumtif. Belakangan ini bank-bank AS memang gampang sekali menyalurkan kredit karena yakin ekonomi stabil sehingga risiko dianggap bisa dikendalikan, sementara sektor asuransi antusiastis menjamin baik kredit perbankan maupun investasi masyarakat karena terbius ekpektasi kelewat optimistis perbankan. Padahal, perbankan dan asuransi sangat berkaitan dan menjadi urat nadi sistem keuangan AS sehingga ketika likuiditas mampat maka ekonomi demam dan terancam oleng. "Gejolak di dua sektor inilah yang memperburuk keadaan," kata Soros. Maka, pelajaran pertama yang bisa diambil dari resesi AS adalah jangan biarkan kredit properti memutar tak terawasi hanya karena ekonomi selalu tumbuh sehingga risiko dianggap terkendali. Lagipula, pengalaman menunjukkan perhitungan risiko kredit yang sembrono di sektor properti kerap menjadi penyebab krisis. Pelajaran kedua, pada perekonomian terbuka seperti sekarang baik faktor domestik maupun ekternal mesti terus-terusan dipantau. Sebelum memutuskan bunga Fed turun, The Fed memperhitungkan efek tekanan harga minyak, makanan dan komoditas lain terhadap inflasi sehingga suku bunga yang disasar tidak malah membuat beban ekonomi kian berat. "Kalau tidak begitu, sirnalah kemampuan The Fed dalam menstimulasi perekonomian," kata Soros. Jadi, jika kini BI tak segera menurunkan BI Rate, maka maklumilah karena BI mesti memertimbangan iklim domestik di mana inflasi memang sedang meninggi. "Kita jangan latah (menurunkan suku bunga)," kata Menko Perekonomian Boediono seperti dikutip ANTARA (31/1). Ketiga, pembuat kebijakan di AS kerap berani untuk tidak populer ketimbang mengorbankan solusi ekonomi yang secara strategis efektif. Sebagian orang AS melihat penurunan suku bunga 0,75 persen adalah perjudian The Fed, tapi Gubernur The Fed Ben Bernanke tak peduli karena ia percaya itulah yang harus ditempuh bank sentral. Keempat, ancaman resesi membuat AS berpikir bahwa modal asing memang krusial, tapi potensi dana kaum menengah dalam negeri pun tidak kalang penting. Sejumlah analisis menyebutkan, ekspansi bisnis AS ke dunia tak hanya bertumpu pada konglomerat, tapi juga pada kumpulan besar dana publik seperti dana pensiun yang telah membeli ratusan perusahaan raksasa di seluruh dunia. Jenis dana ini malah berperan dalam mengatasi krisis likuiditas. Kelima, modal asing kadang memperburuk keadaan sehingga tak ada alasan untuk mengendurkan kewaspadaan. Kini, banyak orang AS sinis menuding ekspansi modal asing membuat krisis kredit perumahan AS bertambah runyam. "Apa jadinya jika para pemegang obligasi SWF (Sovereign Wealth Fund) Timur Tengah atau Asia Timur mendepak para CEO perusahaan-perusahaan AS?" tanya Analis pada Council on Foreign Relation Sebastian Mallaby sinis (Washington Post, 22/1). Keenam, sistem kebijakan keuangan AS tak direcoki pesan-pesan politik yang sering memperburuk keadaan. Tak satu pun politisi AS menohok Bush lewat kritik yang berlatarkan siasat politik, bukan orientasi solusi. Kongres yang berisi dua kubu berseberangan malah cair menyatu manakala skala krisis meluas. Ketujuh, sebaliknya tatkala The Fed dan Depkeu AS mengambil kebijakan, ada korespondensi dengan sikap proaktif sistem kekuasaan lain. Intinya, resesi dan krisis tak hanya dibicarakan di ruang rapat dewan gubernur bank sentral, departemen keuangan atau Gedung Putih, namun juga beresonansi dengan sikap yang peka krisis dari keseluruhan sistem kekuasaan. "Ekonomi menuntut kerjasama aktif semua pihak," kata John Mashek, redaktur senior US News and World Report. Kedelapan, adalah penting menindak siapa pun yang keluar dari aturun hukum. Biro Investigasi Federal (FBI) tengah menyidik sejumlah pejabat eksekutif bank karena diduga menipu dan menyuap yang akibatnya membuat kredit perumahan memacet untuk kemudian menyulut krisis. Kesembilan, langkah kolektif bank sentral seluruh dunia membuat krisis tidak lantas sporadis menyerang sistem ekonomi global padahal postur ekonomi AS adalah terbesar di dunia. Pesannya adalah membiarkan BI berkoordinasi dengan bank sentral kawasan adalah lebih tepat ketimbang menuruti ojok-ojok pasar. Kesepuluh, dari cara bagaimana ekonomi bereaksi menghadapi krisis, ada satu gambaran bahwa globalisasi memang membuat dunia kian saling tergantung, tapi fondasi lokal tetap tak boleh diabaikan. Seliberal-liberalnya AS, sejumlah sektor publik penting seperti pertanian tetap diproteksinya. Sektor publik inilah yang menjadi pasukan utama dalam merehabilitasi ekonomi dari resesi. Hanya karena modifikasi regulasi yang canggihlah proteksi itu menjadi tak terlihat. Kesebelas, jangan melupakan akar krisis di masa lalu karena bisa menjadi penyebab krisis serupa di masa nanti. AS selalu berusaha menarik keidentikan antara faktor penyebab krisis sekarang dengan krisis di masa lalu sehingga ada formula ekonomi standar nan membumi untuk mengobati krisis di masa berikutnya. Terakhir, tak ada pola pengelolaan ekonomi yang benar-benar ideal termasuk kapitalisme yang juga ternyata tak bisa meredam krisis. Bos Microsoft Bill Gates bahkan menilai praktik kapitalisme yang salah telah menjerumuskan ekonomi AS ke dalam ancaman resesi. "Kita memerlukan kapitalisme kreatif yang mempertemukan kepentingan bisnis dan LSM (pembelaan sosial) guna menciptakan pasar yang bisa mengatasi ketidakmerataan ekonomi dunia," kata Bill seperti dikutip BBC (24/1). Secara tidak langsung ini adalah kritik terhadap upaya sejumlah kalangan di Barat yang ingin menunjukkan kapitalisme adalah satu-satunya jalan untuk menyejahterakan manusia. Rusia telah membuktikan klaim ini salah dengan berhasil membebaskan diri dari jeratan utang luar negeri justru setelah memecat IMF, sementara Cina yang selalu menilai kritis potensi kekuatan ekonominya mampu membangun perekonomian yang besar nan kuat tanpa harus takluk pada kapitalisme. Rusia dan Cina mengajarkan bahwa analisis tajam terhadap sumber dan potensi ekonomi domestik akan membuat resep lokal sama mujarab, bahkan mungkin lebih baik daripada formula asing yang umumnya terlalu kapitalistis itu. (*)
Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008