Yogyakarta (ANTARA News) - Indonesia dinilai sulit mengambil peran nyata dalam upaya penyelesaian konflik di Myanmar, sehubungan pemerintah Indonesia saat ini masih menghadapi banyak persoalan di dalam negeri, terutama ekonomi. "Karena itu, saat ini pemerintah Indonesia sedang memfokuskan perhatian pada upaya penyelesaian persoalan di dalam negeri," kata pengamat hubungan luar negeri dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Ichlasul Amal, Minggu. Ia menjelaskan konflik Myanmar merupakan masalah dalam negeri, sehingga pemerintah Indonesia merasa tidak enak jika ikut campur masalah dalam negeri mereka. Apalagi selama ini hubungan pemerintah Indonesia dan pemerintah Myanmar cukup baik. Menurut dia, meskipun pemerintah Myanmar merupakan regim militer yang otoriter, tetapi hubungan dengan Indonesia selama ini cukup baik. Ia mengatakan persoalan Myanmar berbeda dengan persoalan Kamboja yang terjadi saat Indonesia dipimpin Presiden Soeharto. Saat itu pemerintah Indonesia mampu berperan aktif dalam upaya penyelesaian konflik di Kamboja, karena posisi Indonesia di kawasan ASEAN cukup disegani. Namun, kondisi saat ini berbeda. Posisi Indonesia di kawasan ASEAN saat ini tidak jelas, sehingga pemerintah Indonesia jelas tidak mungkin menyatakan sikap meminta pemerintah Myanmar untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap rakyatnya. Langkah yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia, katanya, hanya memberikan pernyataan yang intinya adalah agar persoalan di Myamar diselesaikan secara demokratis. Tetapi Indonesia tidak bisa berperan nyata, seperti menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik di Myamar. "Apalagi Indonesia, Eropa dan AS saja tidak bisa menekan regim militer Myanmar untuk tidak melakukan kekerasan terhadap rakyatnya," katanya. Negara-negara besar sulit menekan pemerintah Myanmar, karena negara itu tidak memiliki pinjaman luar negeri, imbuhnya. (*)
Copyright © ANTARA 2008