London (ANTARA News) – Tugas negara yang dibebankan di pundak perempuan berkulit kuning langsat dan berpenampilan bersahaja itu bukanlah hal yang mudah. Ia menjadi perajut benang hubungan diplomasi Republik Indonesia (RI) dengan Kerajaan Swedia yang sempat kusut lantaran kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Tugasnya sebagai Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Swedia yang menjunjung tinggi masalah Hak Azasi Manusia (HAM), bagi Linggawati Hakim dijalaninya secara tekun. Apalagi, ia merangkap tugas yang sama untuk Republik Latvia.Selama empat tahun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Stockholm, Swedia, yang berhimpitan di antara gedung apartemen rumah tinggal di Sysslomansgatan 18 - 1tr, 112 41 Stockholm, tidak memiliki Dubes, menyusul hubungan RI-Swedia yang kurang harmonis dengan adanya kasus GAM.Banyak aktivis GAM selama puluhan tahun bermukim di Swedia. Bahkan, mereka membentuk organisasi yang disebutnya sebagai pemerintahan dipimpin Hasan Tiro. Namun, konflik RI-GAM terhenti dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Damai di Helsinksi, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.Pengangkatan Linggawaty Hakim sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Swedia dan Republik Latvia pada November 2006 menjadi tantangan bagi alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung itu. Bahkan, baginya hal tersebut sekaligus menjadi puncak karirnya sebagai seorang perempuan diplomat dewasa ini.Beruntung Linggawaty, yang berhasil meraih gelar Master of International Law dari University of Stockholm, Swedia, itu pernah bertugas sebagai diplomat muda di negeri tersebut.KBRI Stockholm pada 1988 – 1991 adalah debutannya selaku diplomat, sehingga membuat Kerajaan Swedia dengan pemerintahan monarki konstitusional menjadi tidak asing lagi baginya."Profesor yang mengajar saya di universitas dulu merasa bangga, karena salah seorang muridnya menjadi duta besar," ujar Linggawaty dalam wawancara khusus dengan ANTARA News di ruang kerjanya.Mengenakan busana jas hitam bergaris yang dipadu celana panjang dan blus merah, serta tanpa perias wajah, Linggawati Hakim menerima tamunya di ruang kerjanya yang tidak terlalu mewah sebagai kantor utusan resmi dari Presiden Indonesia itu.Alunan nada dari seperangkat alat musik yang terletak di pojok ruangan terdengar sesayup. Kondisi apartemen perumahan berjendela kaca dilengkapi seperangkat sofa, dan menyatu dengan ruang kerja Linggawaty selaku Dubes RI membuatnya sempat khawatir terhadap keselamatan dirinya."Coba bayangkan bila ada orang yang iseng melempar batu atau bom, bisa langsung mengenai saya," ujar Linggawati sambil melepas tawa.Ia pun menuturkan serangkaian tugas yang dilakoninya, antara lain menjaga citra KBRI Stockhom yang di masa lalu sempat dituduh ada praktik korupsi, kemelut RI dengan GAM pimpinan Hasan Tiro yang sakit-sakitan, dan kegiatannya mengikuti kegiatan para perempuan Dubes di Swedia.Linggawaty hingga kini terus berupaya merajut hubungan bilateral di antara pemerintah dan bangsa Indonesia dengan Swedia, yang berpenduduk sekira sembilan juta, menjadi kian erat.Mulai dari hubungan politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk program pariwisata guna menyukseskan Tahun Kunjungan ke Indonesia (Visit Indonesia Year/VIY) 2008 terus disusun secara pasti oleh diplomat karir Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang pernah berdinas di Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York itu, sehingga menampakan hasil nyata.Salah satu langkah nyata adalah terbentuknya Dialog Hak Asasi Manusia (HAM) di antara RI-Swedia, ujar mantan Kepala Bidang Politik (Kabidpol) Perwakilan RI untuk Uni Eropa (UE) yang berkedudukan di Brussels, Belgia, tersebut.Menurut Linggawati, dialog itu bertujuan lebih menekankan pada aksi nyata (concrete action), antara lain dengan pertukaran pengalaman bagi kedua negara untuk memajukan dan mempromosikan HAM.Dengan adanya Dubes HAM Swedia di PBB yang dijabat oleh Jan Axel Nordlander, menurut dia, maka memudahkan bagi kedua negara melakukan berbagai dialog, malahan dalam beberapa kasus khusus Swedia justru ingin banyak belajar dari Indonesia.Pemerintah Swedia mengalami kesulitan dengan banyaknya pendatang dari negara Timur Tengah yang membuat warga negara Muslim di negeri itu mencapai 300.000 orang, di tengah beredarnya isu rasis-agamis. Tahun lalu, antara lain ditandai dengan beredarnya kartun Nabi Muhammad SAW yang membuat Swedia merasa kewalahan menghadapi hujatan kalangan Muslim dan negara Islam sedunia."Oleh karena itu, Swedia mengharapkan Indonesia dapat menjembatani berbagai kepentingan itu," ujar Linggawaty.Berkaitan dengan hal itulah, ia berharap akan adanya kunjungan di level tingkat atas dalam upaya membicarakan berbagai kepentingan kedua negara. Bahkan, Pemerintah Swedia merencanakan kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu)-nya ke Indonesia."Saya tengah melakukan penjajakan dan menentukan tanggal pastinya," katanya.Menyinggung hubungan ekonomi kedua negara, Linggawaty merasa masih prihatin dengan kecilnya nilai ekspor Indonesia ke Swedia yang baru senilai 92,9 juta dolar Amerika Serikat (AS), padahal nilai impor Indonesia dari Swedia bernilai 350,9 juta dolar AS.Namun, ia optimistis bahwa penanaman modal Swedia ke Indonesia bakal meningkat, apalagi di bidang pengembangan pusat energi alternatif "bio fuel" dari biji jarak bernilai investasi mencapai 300 juta dolar AS.Manakala membicarakan suka dukanya selaku Dubes RI di Swedia, Linggawaty tampak tidak bisa menyembunyikan kegembiraanya saat bercerita pengalaman layaknya Putri Cinderela saat menyerahkan surat kepercayaan penugasannya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Raja Carl XVI Gustaf di Istana Kerajaan Swedia.Berkereta kuda, Linggawaty Hakim dibawa menuju Istana Kerajaan Swedia, kemudian disambut dengan penghormatan barisan yang terdiri atas marching band dan barisan pengawal kerajaan."Waktu itu, saya sempat hanya berdua dengan Raja, dan kami sempat bertukar cerita," katanya. Linggawaty yang lulusan pendidikan pasca-sarjana di Swedia memang sangat fasih berbahasa negeri kerajaan tersebut.Usai menyerahkan surat kepercayaan, Linggawaty langsung merajut benang diplomasi RI-Swedia, agar menjadi lebih erat. Salah satu upayanya adalah segera menghubungi sang profesor yang menjadi promotor tugas kerjanya saat meraih gelar Master of International Law dari University of Stockholm."Saya halo-halo ke semua orang, dan mengundang mereka makan," ujarnya membuka sekelumit kiat dalam mengawali tugas.Dengan demikian, para diplomat dan kalangan pemerintah di Swedia mengakui keberadaannya, sehingga kemudian mempermudah tugas Linggawaty menjadi Dubes RI."Saya banyak dibantu, dan ini merupakan langkah positif," ujarnya. Ia pun tidak mengingkari bahwa naluri keperempuanan dan pendekatan personal yang beretika memudahkannya berdiplomasi. Linggawati mengemukakan, selain bergabung dalam kelompok diplomat Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Swedia, ia juga tergabung dan membentuk kelompok Perempuan Dubes (Ladies Ambassador). Di Stockholm terdapat sebanyak 21 orang Perempuan Dubes, dan menjadi salah satu kelompok terkenal di dunia diplomasi, lantaran baru ada di Swedia."Kami dijuluki dengan The Most Powerfull Group, karena dalam setiap pertemuan kita mengundang para pembicara dari berbagai kalangan, bahkan para menteri sangat senang bila diundang oleh kelompok ini," katanya. Ketika ditanya mengenai Pekerjaan Rumah (PR) yang perlu segera dituntaskan, Linggawaty pun mengemukakan bahwa keberadaan KBRI Stockholm masih memprihatinkan, apalagi sewa gedungnya akan habis pada akhir 2008.Selain itu, pihak KBRI Stockholm agaknya memerlukan Wisma Duta guna memudahkan penginapan bagi tamu negara dari Indonesia yang bertugas atau berkunjung singkat di ibukota Swedia itu."Kapan lagi, kalau tidak dari sekarang KBRI Stockholm memiliki gedung sendiri yang representatif? Hal yang perlu diperhatikan juga masalah keamanan dan citra Indonesia di kalangan diplomat dunia. Saya sempat merasa malu sewaktu menteri Swedia ingin datang ke kantor," demikian komentar Dubes Linggawaty Hakim. (*)
Oleh Oleh Zeynita Gibbons
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008