Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika mengungkapkan tujuan utama perusahaan menjalankan strategi "membakar modal" dalam perang harga antara operator angkutan daring (online) yakni untuk meningkatkan nilai ekonomi bisnis atau valuasi perusahaan, bukan mengejar profit.
"Kita sudah berada di era yang agak berbeda ketika yang dikejar oleh perusahaan bukan lagi profit atau laba melainkan valuasi," ujar Harryadin kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan valuasi, maka praktek strategi "membakar modal" yang dilakukan perusahaan sama dengan melakukan investasi.
"Tapi ini ada satu paradigma baru yang berbahaya yakni pemenang menguasai semuanya secara mutlak. Saat perusahaan 'membakar modal' maka dia harus memastikan untuk menang secara mutlak sampai pesaingnya betul-betul punah," katanya.
Harryadin menambahkan bahwa paradigma berbahaya ini banyak dianut korporasi-korporasi besar. Mereka tidak segan-segan untuk membakar uang sampai pesaingnya mati, karena setelah itu konsumen pesaingnya akan pindah kepada mereka dan hasilnya nilai valuasi perusahaan mengalami peningkatan cepat.
Selain itu perusahaan tersebut juga bisa memiliki daya tawar yang tinggi saat bernegosiasi dengan investor yang akan membeli perusahaannya dengan harga saham baru yang lebih tinggi dibandingkan harga awal.
"Sebenarnya tidak berpikir untuk mengejar profit lagi. Apakah harga naik karena perusahaan pemenang ingin balik modal sebetulnya tidak, harga naik sebagai kompensasi tidak adanya pesaing," ujar Harryadin.
Sebelumnya ekonom UI tersebut menilai persaingan angkutan daring (online) di Indonesia dalam kondisi rawan atau lampu kuning, yang pada akhirnya dapat membuat salah satu operator terpental.
Harryadin meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengawasi persaingan industri transportasi daring di perkotaan dalam rangka mencegah praktik penjualan produk dengan harga sangat rendah atau predatory pricing.
Dia menjelaskan bahwa strategi pelaku usaha menjalankan predatory pricing diduga telah terjadi di industri transportasi online. Caranya, mereka menggunakan promosi yang tidak lazim (predatory promotion) untuk menarik perhatian masyarakat.
Harryadin menyebut ada beberapa indikasi dan modus praktek predatory pricing yang dilakukan perusahaan transportasi online, antara lain promosi berupa diskon hingga mencapai harga yang tak wajar, promosi dilakukan dalam jangka waktu lama yang melampaui kelaziman dan terindikasi mematikan pelaku usaha lainnya.
Hilangnya persaingan, lanjutnya, akibat monopoli pelakuan usaha predator di industri transportasi online akan langsung memperlemah posisi tawar mitranya (driver dan merchant) serta konsumen.
Baca juga: Ekonom: Persaingan angkutan "online" di Indonesia dalam kondisi rawan
Baca juga: Pengamat: aturan ojek online tak legalkan motor sebagai angkutan umum
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019