Kata 'signifikan' itu, menurut Heru hanya berdasarkan pada frasa yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 473 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.
Pasal 473 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang perselisihan hasil pemilu, salah satunya menjelaskan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.
"Dari frasa (signifikansi) tersebut ada tiga kategori. Pertama, signifikan apabila pelanggaran terjadi di tempat pemohon kalah. Jika sebaliknya dikatakan tidak signifikan," kata Heru saat sidang berlangsung di Gedung MK, Jakarta, Jumat.
Poin kedua, ia menambahkan, sengketa menjadi signifikan jika dilakukan pemulihan dan hasilnya akan mengubah hasil perolehan suara peserta pemilu.
Selain itu, Heru juga menyatakan bahwa pelanggaran dapat dikatakan signifikan apabila kondisi penegakkan hukum tidak bekerja, dan penyelenggara tidak menghormati putusan lembaga penegak hukum yang ada.
"Pelanggaran demikian signifikan untuk dipulihkan MK," ujarnya.
Namun jika masalah pelanggaran tidak signifikan maka menurutnya MK tidak seharusnya menyelesaikan sengketa tersebut.
Lebih lanjut, ia menuturkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan pemilu telah mengatur soal sistem penegakan keadilan pemilu mulai dari proses dan hasil pemilu untuk diselesaikan oleh Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan MK.
"Masing-masing mempunyai tugas menegakkan sengketa pemilu," ucapnya.
Baca juga: Sidang MK, ahli: MK tak kehilangan progresivitasnya dalam PHPU Pilpres
Baca juga: Sidang MK, Ahli: Beban pembuktian tidak dibebankan kepada termohon
Baca juga: Sidang MK, saksi ahli sebut pembuktian kecurangan TSM sangat rumit
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019