Palangka Raya (ANTARA News) - Sebanyak 117 izin investasi dari berbagai perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan kehutanan di Provinsi Kalimantan Tengah terancam dicabut karena dinilai tidak aktif lagi menjalankan usahanya. "Usulan pencabutan telah kami ajukan ke BKPM Pusat dan sebanyak 42 di antaranya telah disetujui untuk dicabut sedangkan sisanya masih dalam proses," kata Kepala Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Kalteng Sadar Ardi di Palangka Raya, Sabtu. Menurut dia, secara kuantitas pencabutan izin itu jelas akan mengurangi jumlah investor yang ada di Kalteng, namun secara kualitas akan membuat investasi yang ada lebih baik. Ratusan investor baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang diusulkan pencabutan SP-nya (surat persetujuan) itu sudah tidak serius lagi mengembangkan investasinya di Kalteng. Banyak di antara para investor itu ditemukan sudah tidak beroperasi, tidak pernah melaporkan kegiatannya, atau bahkan tidak ada alamat lagi. Sebagian besar bergerak di bidang kehutanan, industri kayu, dan perkebunan. Menurut Ardi, Pencabutan SP itu diharapkan dapat membersihkan iklim investasi di Kalteng agar tidak menghambat investor baru yang serius ingin menanamkan modalnya di wilayah itu. Sadar mengemukakan, data BPMD Kalteng saat ini menyebutkan terdapat sekitar 294 perusahaan yang menanamkan modalnya di Kalteng. Terdiri dari 118 PMA dan 176 PMDN, sebagian besar bergerak di bidang kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Dari 176 perusahaan PMDN yang berinvestasi di Kalteng memiliki total rencana investasi hingga senilai Rp32,95 triliun, sedangkan rencana investasi dari 118 perusahaan PMA mencapai Rp63,99 triliun. "Hingga saat ini realisasi investasinya baru sekitar 46 persen dari rencana investasi, yaitu sebanyak Rp15,46 triliun untuk PMDN dan Rp29 triliun untuk PMA," ungkapnya. Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kalteng RYM Soebandi, menilai keberadaan sejumlah kegiatan investasi padat modal justru berimplikasi pada terpangkasnya serapan tenaga kerja lokal sehingga perlu dikaji ulang dan digantikan dengan investasi padat karya. "Kami tetap berkeyakinan bahwa investasi-investasi padat modal itu telah berimplikasi pada rendahnya serapan tenaga kerja, karena kebutuhan akan tenaga kerja mulai tergantikan dengan teknologi," katanya. Bahkan Soebandi menilai, penerapan investasi padat modal di Kalimantan Tengah tersebut justru telah menyebabkan roda ekonomi masyarakat berjalan lebih lamban atau bisa jadi tidak bergerak. Soebandi juga menyatakan belum puas terkait laporan pemerintah daerah bahwa serapan tenaga kerja di ratusan kegiatan investasi baik penanaman modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) mencapai 141.357 orang. "Konsekuensi investasi dengan serapan tenaga kerja itu tentunya belum sebanding dengan ekses investasi," jelasnya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008