Jakarta (ANTARA News) - Kenaikan harga baja hingga 30 persen saat ini dikhawatirkan menghambat penyelesaian berbagai proyek konstruksi di tanah air.
"Dampak kenaikan bahan baku baja ini bisa memperlambat penyelesaian proyek karena para kontraktor lebih memilih menunda percepatan proyek sambil menunggu turunnya harga baja di pasaran," kata Ketua Umum Asosiasi Pabrikan Tower Indonesia (Aspatindo), Ahmad Fahmi, di Jakarta, Jumat.
Dua proyek besar yang kemungkinan ikut tertunda dengan naiknya harga baja dunia adalah proyek pembangkit listrik 10.000 Megawatt (MW) dan proyek pembangunan jalan tol, ujar dia. Berbagai proyek lainnya yang terganggu adalah pembangunan tower untuk telekomunikasi.
Ahmad mengatakan kenaikan harga baja sudah terjadi sejak enam bulan terakhir, tetapi kenaikan signifikan dirasakan dalam waktu dua bulan terakhir.
Pada kuartal keempat terjadi kenaikan baja siku yang merupakan bahan baku pembuatan tower dari Rp7.000 per kilogram menjadi Rp9.700 per kilogram.
Menurut dia, saat ini kontraktor yang telah terikat kontrak dengan PT PLN (Persero) dan pabrikan terkait dengan proyek 10.000 MW memang tidak terjerat masalah naiknya biaya produksi. Namun bagi kontraktor yang telah menandatangani kontrak dengan PLN tetapi belum menandatangani kontrak dengan pabrikan menjadi gamang karena kenaikan biaya produksi yang drastis akibat kenaikan harga baja tersebut.
"Karena itu kontraktor yang belum menandatangani kontrak lebih memilih menunggu hingga harga baja sedikit membaik. Yang juga mendapat imbas dari kenaikan harga baja dunia adalah industri baja yang tidak memiliki persediaan bahan baku," ujar dia.
Bagi pabrikan atau industri baja yang juga sudah terikat kontrak dengan kontraktor dan tidak memiliki persediaan bahan baku, mereka terpaksa menanggung kerugian akibat kenaikan biaya produk, kata Ahmad.
Sementara industri yang masih memiliki persediaan bahan baku masih bisa mendapatkan keuntungan.
Saat ini, dia mengatakan, bahan baku baja di dunia semakin langka akibat ulah spekulan yang lebih memilih menahan baja hingga menyebabkan harga pasaran baja di dunia justru semakin tinggi.
Jika beberapa industri baja tanah air biasa lebih memilih memberi scrap atau besi tua untuk dilebur dan diproses menjadi bahan baku seperti baja siku, H Beam, ataupun plat, maka saat ini industri atau pabrikan terpaksa mengimpor bahan baku seperti baja siku dan plat yang banyak diperlukan untuk pembangunan pembangkit dan distribusi listrik.
"Ini jelas semakin memperbesar biaya produksi. Parahnya lagi, biasanya setelah terjadi kenaikan maka harga baja tidak serta-merta turun ke harga semula tetapi turun hingga level tertentu saja," ujar dia.
Ahmad menjelaskan untuk satu produksi tower biaya produksi untuk bahan baku baja mencapai 70 persen, sedangkan galvanising biasanya hanya menghabiskan biaya 20 hingga 25 persen, dan untuk upah pegawai menghabiskan biaya terkecil antara lima hingga 10 persen saja, ujar dia.
Saat ini jumlah anggota Aspatindo sebanyak 15 perusahaan, dan mampu memproduksi baja kurang lebih sebesar 210.000 hingga 300.000 ton per tahun dengan rata-rata produksi setiap anggota mencapai 1.200 ton per bulan. Sehingga nilai dari total produksi baja anggota Aspatindo per tahun dapat mencapai Rp5,25 triliun.
Sementara itu, dia mengatakan, harga jual baja untuk konstruksi tower yang didominasi oleh baja siku dan plat saat ini mencapai RP18.500 per kilogramnya, dan untuk pengerjaan satu buah tower biasanya mencapai berat enam hingga 30 ton.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008