Jakarta (ANTARA) - Industri semestinya tidak hanya diwajibkan memasang alat pemantau polusi, melainkan juga penyaring polusi, kata Researcher-toxic Program Officer BaliFokus/Nexus3 Sonia Buftheim.
"India, China sudah ada kewajiban memasang penyaring polusi. Thailand mulai berproses. Indonesia harusnya menerapkan," katanya, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pemerintah dalam kaitan ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang sudah mulai cukup perhatian terkait polusi dengan regulasi terbarunya.
Ia menyebutkan Peraturan Menteri LHK Nomor 15/2019 yang mengatur baku mutu emisi (BME) pembangkit listrik tenaga termal mewajibkan Continuous emission monitoring systems (CEMS).
Namun, kata dia, CEMS hanyalah bekerja sebagai pengontrol atau pemantau polusi atau tingkat emisi, bukan sebagai penyaring polutan.
"Memang sudah bagus karena selama ini pemantauannya kan secara manual. Namun, CEMS tidak bisa mereduksi polusi, hanya memonitor saja lewat sistem," katanya.
Kalau pemerintah mau lebih serius, kata dia, pemerintah juga mesti mewajibkan pemasangan Air pollution control devices (APCDs) sebagai penangkap emisi.
"Alat ini (APCDs) mampu mengurangi merkuri sampai 66 persen dan mereduksi polutan lain sampai 80 persen. Baik PLTU maupun industri mestinya wajib memasang ini," katanya.
Selain itu, Sonia juga mengingatkan pengawasan emisi yang dilakukan pemerintah secara tersistem lewat CEMS harus diikuti upaya preventif lainnya.
Penggunaan batubara dengan kualitas low grade, kata dia, harus diminta dikurangi, diganti dengan batubara berkualitas tinggi untuk mengurangi dampak polusi.
"Memang (batubara berkualitas) lebih mahal. Tetapi, perlu diketahui batubara dengan kualitas low grade mengandung merkuri sebesar 40 persen," kata Sonia.
Sebelumnya, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago mengatakan CEMS sudah dicoba dipasang di empat pabrik, seperti pabrik baja, pabrik semen dan PLTU.
"Karena berhasil, maka kami berani memasukkan ini ke dalam Permen LHK. Di dalam Permen LHK ini sudah dinyatakan cerobong-cerobong (pabrik) itu diintegrasikan pemantauannya melalui smart tv dari kantor. Ini membuat pemantauan lebih modern," ujar Dasrul.
Pemerintah mempertimbangkan waktu tiga tahun untuk pabrik menjalankan Permen LHK tentang baku mutu emisi paling mutakhir ini setelah diundangkan.
"Ini atas pertimbangan kesiapan teknologinya. Karena memperbaiki cerobong itu kan enggak bisa cepat. Naik ke cerobongnya saja pakai lift," katanya.
Soal parameter partikulat, ia mengatakan menggunakan PM10. “Kalau cuma PM2.5 nanti yang 3.5 lolos."
Baca juga: Pakar: Polusi tol Trans Jawa tidak signifikan ketimbang industri
Baca juga: BMKG: Indonesia tidak masuk rilis polusi udara WHO
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019