Jakarta (ANTARA News) - Penetapan tiga pejabat Bank Indonesia (BI) menjadi tersangka kasus aliran dana BI dinilai baru merupakan babak awal karena mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan mantan Duputi Gubernur Senior BI Anwar Nasution seharusnya juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama.
Pernyataan itu dikemukakan ahli hukum pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita, Kamis, menanggapi perkembangan kasus aliran dana BI ke DPR yang tengah disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
"Dalam hukum pidana, kalau pelaksana atau operator (dalam hal ini ketua dan wakil ketua PPSK) sudah menjadi tersangka, maka semua harus menjadi tersangka. Ini berarti, kalau top manajernya jadi tersangka, kemudian pelaksananya sudah dijadikan tersangka, itu harusnya semua jadi tersangka, termasuk Aulia Pohan ataupun Anwar Nasution," kata Romli.
Aulia Pohan merupakan Koordinator Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) selaku pengguna dana Rp100 miliar tersebut. Salah satu tujuan penyaluran dana itu untuk diseminasi (pembelaan) kebijakan moneter dan perbankan secara intensif dan komprehensif terhadap masyarakat.
Apalagi, kata Romli, dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI telah disebutkan bahwa Dewan Gubernur merupakan lembaga normatif tertinggi.
Keputusan Dewan Gubernur BI itu bersifat tanggung jawab renteng karena kebijakannya yang juga bersifat kolektif kolegial seperti halnya di KPK. Artinya, kalau ada yang tidak setuju, maka kebijakan itu otomatis batal.
"Artinya, semua putusan berada di tangan Dewan Gubernur dan bukan di tangan Gubernur sendiri," ujarnya.
Kendati demikian Romli tidak setuju jika dikatakan bahwa KPK telah berlaku diskriminatif dalam kasus ini. "Kalau sekarang Aulia Pohan dan Anwar Nasution tidak dijadikan tersangka, menurut saya belum. Tapi saya yakin semua akan dijadikan tersangka.
Di lain pihak, Romli meminta Anwar untuk bersikap ksatria. "Dia itu ikut tanda tangan. Jangan mengelak. Harusnya Anwar ksatria seperti pengakuan Aulia Pohan bahwa dia ikut tanda tangan," kata Romli.
Sebelumnya, Ketua BPK yang juga mantan Deputi Gubernur Senior BI Anwar Nasution mengaku tidak ikut tanda tangan pada rapat dewan gubernur tanggal 3 Juni 2003 karena tengah berada di AS. Namun ternyata dalam rapat lanjutan pada 22 Juli 2003, ia ikut membubuhkan tanda tangan.
Senada dengan Romli, anggota Komisi XI dari Fraksi PKB Ali Masykur Musa mengatakan bahwa Anwar Nasution menjadi bagian yang ikut bertanggung jawab dalam proses keputusan itu. Apalagi, kebijakan BI itu menganut sistem kebijakan kolektif kolegial yang diputuskan melalui rapat Dewan Gubernur.
Karena itu, kata dia, konsekuensinya tidak boleh ada unsur diskriminasi dalam kasus BI ini.
Sementara anggota Komisi III dari FPKS Fahri Hamzah mengusulkan agar pengusutan kasus dugaan aliran dana BI itu ditangani penuh KPK dan bukan ke Badan Kehormatan (BK) DPR.
Ia menilai BK DPR cenderung menjadi ajang tawar menawar politik. "BK adalah lembaga internal dewan yang anggotanya terdiri dari para politisi dengan berbagai kepentingan. Di BK rawan negosiasi dan bahkan bisa memperkeruh suasana. Biarkan saja KPK memanggil semua yang terlibat." katanya.
Fahri pun meminta KPK lebih berani membongkar nama-nama lainnya selain yang sudah disebutkan di media massa.
Sementara itu Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah yang dihubungi soal mengapa Aulia Pohan dan Anwar Nasution tidak dijadikan tersangka meminta publik bersabar.
"Ya nanti lah kita tunggu hasil perkembangan pemeriksaan. Kita kan tidak bisa begitu saja menjadikan seseorang tersangka. Yang jelas, semua yang diduga terlibat sudah kita periksa," katanya.
Secara terpisah, Aulia Pohan mengaku sudah dua kali diperiksa KPK. Dia juga mengaku sedih atas penetapan Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008