"Saya tidak tahu soal deportasi itu, tidak ada kabarnya," kata Ainudin
Mataram (ANTARA) - Ainudin, kuasa hukum warga Australia Bower Geoffery William (60) dan Manikam Katherasan (48) dari Singapura, pelanggar visa kunjungan izin tinggal selama berada di Indonesia dengan bekerja di Wyndham Sundancer Lombok Resort, tidak mengetahui soal pendeportasian kliennya.
Ainudin, di Mapolda NTB, di Mataram, Kamis, mengaku tidak menerima pemberitahuan terkait langkah hukum dari Kantor Imigrasi Kelas I Mataram yang mendeportasi dua WNA penyalahguna visa kunjungan izin tinggal tersebut pada Sabtu (25/5) lalu.
"Saya tidak tahu soal deportasi itu, tidak ada kabarnya," kata Ainudin ketika ditemui pada jam istirahat pemeriksaannya sebagai saksi KPK dalam kasus suap Rp1,2 miliar pegawai imigrasi, di Gedung Ditreskrimsus Polda NTB, Kamis.
Pelaksana Tugas Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Armand Armada Yoga Surya sebelumnya menyatakan bahwa kedua WNA yang menjadi modus suap Rp1,2 miliar dalam penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal tersebut telah dideportasi ke negara asalnya sebelum terjadi operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap pejabat imigrasi, Senin (27/5) lalu.
Tepat pada Sabtu (25/5), katanya lagi, kedua WNA dipulangkan ke masing-masing negara asalnya.
Terkait dengan kepastian hukum tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Mataram Ketut Sumadana angkat bicara. Sebelumnya dia pernah menjelaskan bahwa penanganan sebuah perkara, khususnya oleh PPNS, pastinya ada koordinasi dengan Korwas PPNS Polda NTB.
Begitu juga dengan peningkatan status sebuah perkara, dari penyelidikan naik ke tahap penyidikan harus disertai dengan pemberitahuan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada korwas PPNS maupun kejaksaan.
Dengan adanya SPDP tersebut, membuka peluang sebuah perkara untuk diselesaikan dalam ranah pengadilan. "Jadi kalau kita lihat dalam aturan perundang-undangannya, deportasi itu berlaku setelah adanya penetapan pengadilan (putusan pidana)," kata Sumadana. Baca juga: Pejabat Imigrasi Mataram kembali diperiksa penyidik KPK
Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS Polda NTB Kompol Ridwan menyatakan bahwa kepastian hukum untuk pendeportasian WNA yang menyalahi aturan Perundang-Undangan Keimigrasian biasanya ditentukan dari hasil gelar perkara.
"Biasanya pada saat gelar dengan imigrasi, di situ lahir keputusannya seperti apa, termasuk deportasi atau tidak, tapi nantinya itu diajukan ke pimpinan," kata Ridwan yang juga mengaku tidak mengetahui soal pendeportasian dua WNA tersebut.
Namun kabar deportasi tersebut ditegaskannya tidak ada didapatkan dari imigrasi. Begitu juga dengan SPDP kasus penyalahgunaan visa kunjungan izin tinggal dua WNA tersebut, pihaknya dikatakan tidak menerimanya. "SPDP saja tidak ada," ujarnya pula.
Penyalahgunaan visa kunjungan bagi WNA memang telah tersirat dalam aturan pasal 122 Undang-Undang Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian.
Sanksi pidana untuk WNA yang melanggar aturan tersebut diuraikan dalam pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian, disebutkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000.
Ancaman pidana bagi penyalahguna visa kunjungan sebenarnya tidak hanya dapat menjerat WNA yang bermasalah. Pemberi kerja, pihak sponsor, penjamin, dan siapa saja yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada WNA untuk menyalahgunakan visa kunjungan juga dapat dikenakan sanksi pidana.
Ancaman pidananya sama seperti WNA dan telah diuraikan dalam pasal 122 huruf b Undang-Undang Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian.
Namun untuk aturan penggunaannya, telah diuraikan dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa WNA penerima visa kunjungan diberikan izin tinggal di wilayah Indonesia paling lama 30 hari.
Bentuk kegiatan yang dibolehkan antara lain melakukan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, bisnis, keluarga, jurnalistik atau singgah untuk meneruskan perjalanan ke negara lain. Baca juga: Kadiv Keimigrasian NTB diperiksa KPK
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019