Jakarta (ANTARA News) - Puluhan orang yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Penyelamat Uang Rakyat (Gempur) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Departemen Keuangan (Depkeu) Jakarta, Kamis, guna mendesak pembekuan kekayaan seluruh koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk dikembalikan ke kas negara. Koordinator Lapangan Gempur, A. Khoiruddin, mengatakan bahwa Gempur juga mendesak pemerintah melalui Menteri Keuangan (Mmenkeu) segera menyelesaikan audit harta kekayaan seluruh koruptor BLBI. Gempur mendesak Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) untuk menghentikan pembayaran Rp60 triliun untuk membayar bunga rekapitalisasi perbankan hasil korupsi BLBI dan dialihkan untuk membeli kedelai, beras, minyak goreng, dan berbagai kebutuhan rakyat. Menurut Khoiruddin, salah satu masalah masa lalu Indonesia yang tak kunjung selesai adalah soal BLBI yang merugikan negara Rp144,8 triliun. Menurut dia, para koruptor BLBI hingga saat ini masih hidup bebas dan bergelimang dengan harta hasil korupsi BLBI. Presiden sudah memerintah Menkeu segera menyelesaikan masalah BLBI, juga diperintahkan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk sinkronisasi data dan bukti korupsi. "Namun sayang, menkeu yang diandalkan Presiden untuk mengaudit harta koruptor bertindak lambat dan seakan mengabaikan perintah," katanya. Padahal seandainya Menkeu bergerak cepat, audit terhadap para koruptor, maka besar kemungkinan negara bisa ambil tindakan untuk menangkap dan menyita harta para koruptor. "Kita bosan dengan berbagai rencana pemerintah menyelesaikan kasus BLBI karena kenyataannya negara tidak menyelesaikan apa-apa. Kasus terus menggantung, dibiarkan jadi desas-desus dan bahkan misteri," katanya. Semangat pemberantasan korupsi oleh pemerintah sekarang, katanya, bisa membuat jantung para pejabat publik berdegup jantungnya untuk melakukan penyelewengan. "Tapi apa artinya itu jika tak mampu menyeret mereka yang telah nyata-nyata membangkrutkan keuangan negara di masa lalu," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008