Palembang (ANTARA News) - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak mau memperdebatkan wacana pemberian tanda jasa bagi mantan Presiden HM Soeharto karena dinilai tidak memberikan dampak bagi perkembangan dan pembangunan bangsa. Sekjen PDIP Pramono Anung, di Palembang, Rabu, menyatakan sebaiknya perdebatan ini diendapkan terlebih dahulu sembari menetapkan status dan kedudukan Soeharto di mata masyarakat. "Persoalan yang menyangkut status dan kedudukan Pak Harto masih diperdebatkan di masyarakat. Sehingga dengan diusulkan itu, membangkitkan beberapa kelompok yang `belum sembuh` ketika rezim Pak Harto berkuasa," katanya di sela-sela kunjungan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri ke Palembang. Pramono menilai perdebatan yang terjadi memperlihatkan adanya kelompok tertentu yang ingin berlindung dengan meninggalnya Pak Harto. Ia menegaskan kelompok tersebut adalah kelompok yang dibesarkan di era Pak Harto. "Jangan sampai masalah ini digunakan untuk berlindung. Saya melihat motif politik lebih dominan daripada ketulusan memberikan tanda jasa," ujarnya. Untuk menentukan status pahlawan, katanya, akan lebih jelas setelah undang-undang tanda jasa dan kepahlawanan disahkan. Dalam UU tersebut diatur kriteria pahlawan. "Kriteria pahlawan itu jangan sesuai perspektif siapa yang berkuasa, tetapi undang-undang," katanya. Jika UU ini diterapkan maka tidak menutup kemungkinan sejumlah nama pahlawan sebelumnya dapat dicopot. "Kalau memenuhi syarat ya akan diberikan tanda jasa. Ada kemungkinan pemberian status pahlawan sarat dengan kepentingan penguasa sehingga perlu ada kriteria yang jelas," katanya. Perdebatan mengenai perlu tidaknya pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto muncul setelah sejumlah pengurus Partai Golkar mengusulkan agar pemerintah memberikan gelar pahlawan atas dasar jasa dan perjuangan Soeharto terhadap bangsa dan negara. Namun, sejumlah pihak menolak usulan itu karena kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun menjadi presiden juga dinilai besar dan menyakiti hati rakyat.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008