Pontianak (ANTARA) - Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr. Erdi, M.Si menilai fenomena kawin kontrak di Kalimantan Barat semakin marak karena menjadi lahan bisnis bagi makcomblang atau perantara pencari jodoh yang memanfaatkan hal ini.
Menurutnya, kisah sukses pelaku kawin kontrak berubah menjadi ladang bisnis bagi segelintir orang untuk mendirikan kantor atau agen atau biro jodoh berjalan (makcomblang).
Sementara, bagi keluarga pelaku kawin kontrak yang gagal akhirnya banyak mengadu ke kepolisian sehingga menjadikan fenomena kawin kontrak ini timbul tenggelam ke publik bagaikan "ikan buntal" yang mesti muncul ke permukaan untuk mengambil udara.
Fenomena ini masih terjadi meskipun dengan modus operandi yang berubah ke arah lebih rapi, senyap dan dalam jaringan terbatas. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh berhenti menginventarisasi semua modus operandi yang mengarah pada kawin kontrak ini dan harus menekan kasus ini tidak terulang di masa depan.
Untuk itu, dia berharap modus Negara dalam menumpas peristiwa ini tidak boleh kalah canggih dengan modus operandi makcomblang.
Baca juga: Kawin kontrak fenomena yang mengkhawatirkan
Dua kategori kawin kontrak
Menurut dosen Fisipol Untan Pontianak ini, kasus kawin kontrak dapat dibedakan ke dalam dua kategori. Pertama, kawin kontrak yang melibatkan amoy (gadis keturunan China/Tionghoa dalam negeri) dengan pria luar negeri.
Untuk kawin kontrak kategori pertama, jenis ini lebih berorientasi materi dan ekonomis karena tidak melalui proses panjang (instan) dan juga tidak menggunakan peraturan negara dan apalagi menggunakan dokumen negara.
Sampai hari ini, pria asing itu didominasi dari Taiwan, Singapura, Malaysia, Hongkong, dan China.
Kategori kedua adalah kawin kontrak yang terjadi di wilayah perbatasan negara antara pria luar negeri sempadan dengan gadis lokal pada kawasan perbatasan, yang umumnya dilandasi oleh kesamaan suku dan dilakukan melalui proses adat yang panjang, meskipun dalam kasus tertentu tidak selamanya dalam satu garis keturunan suku.
Dia mengaku tidak sepakat jika jenis perkawinan yang kedua ini disebut kawin kontrak, tetapi lebih tepat bila disebut kawin secara adat. Namun, kesamaan dari kedua tipologi kawin di atas adalah sama-sama tidak menggunakan institusi dan tidak juga memakai dokumen negara sebagai basis atau alas terjadinya pernikahan.
Kawin Kontrak Bukan Fenomena Baru
Fenomena kawin kontrak bukanlah peristiwa baru di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat. Kawin kontrak tipe pertama marak terjadi sekitar tahun 2013, sementara kawin kontrak kedua telah berlangsung lama di kawasan sepanjang perbatasan.
Pada awal kemunculan fenomena kawin kontrak yang melibatkan Amoy di Kota Singkawang ini berjalan bagus dan pelaku kawin kontrak banyak yang sukses ketika kembali ke Kota Singkawang. Namun, lama kelamaan, terjadi banyak penyimpangan dan terakhir banyak kisah sedih yang dialami oleh pelaku sebagai korban dari kawin kontrak.
Erdi mengatakan bahwa negara lalai dalam mengantisipasi fenomena ini dan baru tersentak setelah timbul kasus memilukan yang dialami oleh korban dari hasil proses kawin kontrak ini.
Singkawang merupakan kota tempat terjadinya banyak peristiwa kawin kontrak yang melibatkan gadis keturunan China dengan laki-laki luar negeri. Kehidupan ekonomi yang rendah dan pendidikan orang tua dan anak yang sangat rendah serta usia amoy yang masih belia (di bawah umur) diduga menjadi faktor-faktor mulusnya proses kawin kontrak antara amoy dengan pria luar negeri ini.
Modus memperbaiki ekonomi keluarga
Keinginan amoy dari keluarga miskin untuk segera lepas dari kehidupan kemiskinan di satu sisi dan keinginan orang tua untuk melepaskan tanggung jawab atas anak gadisnya di sisi lain, membuat banyak amoy dari keluarga miskin di Singkawang yang mendaftarkan diri ke biro jodoh (makcomblang) untuk dicarikan suami tanpa pernah melalui proses percintaan terlebih dahulu.
Tidak semua amoy yang menikah dengan pria asing itu menjadi kaya. Latar belakang pria yang akan menikahi Amoy juga tidak pernah jelas sebelum Amoy itu tiba di Negara suami.
Jadi, peluang antara sukses dan gagal dalam perkawinan kontrak ini berimbang. Dan ketika gagal, barulah terungkap ada kasus kawin kontrak antar warga negara.
Disini lah peluang yang dimanfaatkan oleh para mak comblang dan biro jodoh yang bergerak dari bawah untuk menggaet targetnya.
Baca juga: Problem ekonomi pendorong praktek kawin kontrak di Kalbar
Dalam hal ini, dia menilai pemerintah kita selalu lalai dalam memberikan perlindungan kepada warga negara sehingga konsep Rhodes (2006) dalam buku The Oxford Handbook of Political Institution tentang peran negara "to protect people from any kind of enemies and human diseases" laksana peran Inspektur Laddu Sigh pada filem Shiva, yang selalu datang memberi pertolongan setelah kasus hampir selesai dan bahkan kasus telah usai.
Sementara itu, untuk kawin kontrak jenis kedua, walaupun ada kasus perkawinan yang kandas di tengah jalan, tetapi jumlah kasusnya relatif kecil. Pernikahan antara warga berbeda negara di kawasan perbatasan itu dilakukan melalui proses panjang dan minimal melibatkan pengurus adat di pihak mempelai perempuan; minimal pihak pemangku adat dari mempelai perempuan terlibat dalam prosesi nikah adat.
Prosesi nikah adat itu mesti dijalankan dan tuntas terlebih dahulu; barulah pernikahan itu boleh dilangsungkan; tanpa kelengkapan prosesi adat; tidak boleh ada pernikahan.
Terjadinya kasus perempuan ditinggalkan oleh suami dari hasil kawin adat dianggap sebagai kasus per kasus dan tidak dapat digeneralisasi seperti kawin kontrak jenis pertama di atas. Seluruh harta yang ditinggalkan suami di kampung akan menjadi hak istri berikut anak-anak dari hasil perkawinan adat yang kandas di tengah jalan itu.
Baca juga: Akademisi Untan harapkan riset HT bukan untuk kepentingan proyek
Baca juga: Koalisi Perempuan Indonesia: praktik kawin kontrak memprihatinkan
Pewarta: Rendra Oxtora
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019