Yung, 67 tahun, berangkat dan meninggalkan kota yang diperintah China itu untuk memulai hidup baru di Taiwan, yang demokratis. Dia sudah muak dengan apa yang dilihatnya sebagai cengkeraman Beijing atas kota itu, yang sudah mengarah pada pengikisan kebebasan sipil.
"Tanpa kebebasan dan demokrasi, seperti di dalam penjara, seperti hidup di kamp konsentrasi ... tanpa kebebasan (saya) lebih baik mati," ujar Yung, sementara ia mengibarkan bendera Taiwan sewaktu ikut aksi unjuk rasa di Hong Kong pada Ahad.
"Taiwan bisa menawarkan itu sebab Taiwan menyelenggarakan pemilihan demokratis dan memiliki konstitusi yang menjamin demokrasi."
Hong Kong sudah diperintah berdasarkan formula "satu negara, dua sistem" sejak dikembalikan oleh Inggris ke China tahun 1997. Status tersebut memungkinkan Hong Kong menjalankan kebebasan, termasuk pengadilan yang independen. Pengadilan-pengadilan di China Daratan dikendalikan oleh Partai Komunis.
Yung bergabung dengan ribuan orang yang pindah ke Taiwan dalam beberapa tahun belakangan atas kekhawatiran bahwa sistem satu negara-dua sistem akan dikikis oleh China. Beijing berharap suatu hari dapat menerapkan sistem tersebut di Taiwan.
Beijing tak pernah berhenti menyatakan akan menggunakan kekuatan untuk mengambil alih Taiwan, tetangganya yang memiliki pemerintahan sendiri dan dipandang sebagai provinsi yang memisahkan diri.
Sementara pemimpin Hong Kong Carrie Lam membekukan RUU Ekstradisi tanpa batas waktu, para penyelenggara protes mengatakan sekitar dua juta orang pada Ahad (16/6) masih turun ke jalan-jalan untuk menyerukan penarikan penuh dan menuntut Lam mundur.
Beberapa taipan Hong Kong mulai memindahkan kekayaan pribadi mereka ke luar negeri di tengah-tengah kekhawatiran terkait legislasi itu.
Sumber: Reuters
Baca juga: Pemerintah China tidak akan izinkan pimpinan Hong Kong mundur
Baca juga: Unjuk rasa oleh ribuan orang lumpuhkan Hong Kong
Baca juga: Hong Kong tutup kantor pemerintahan karena demonstrasi
Penerjemah: Mohamad Anthoni
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2019