Jakarta (ANTARA News) - Praktisi hukum, Denny Kailimang menilai, penetapan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah dan dua pejabat BI lainnya sebagai tersangka suap Rp100 miliar ke anggota DPR oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak adil dan cenderung diskriminatif.
"Mengapa tersangka hanya dari kalangan BI saja. Ini jelas tidak seimbang. Mana tersangka dari DPR," kata Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia ini di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, penetapan tersangka hanya dari kalangan BI itu menunjukkan bahwa ada desakan "tertentu" terhadap KPK sehingga hanya menetapkan tersangka dari pihak yang memberikan suap, sedangkan pihak yang menerima suap dibiarkan begitu saja.
"Kalau ada dana ke keluar dari kantor BI maka pasti ada yang menerima. Nah, kita juga perlu mengetahui, ke mana aliran dana itu," katanya.
Menurut dia, skandal suap BI kepada DPR itu menjadi cermin lemahnya adminstrasi dan pengawasan keuangan di negara kita dan hal tersebut juga terjadi di semua departemen dan instansi pemerintah jika akan mengajukan rancangan undang-undang ke DPR.
"Yang selama ini diyakini admistrasinya paling tertib yakni Bank Indonesia saja masih bisa mengeluarkan dana-dana semacam itu maka hal itu sudah pasti terjadi di kantor pemerintah lain," katanya.
Ia menyatakan, salah satu pejabat departemen pernah menyatakan dalam satu seminar bahwa uang suap itu sudah menjadi "rahasia umum" dimana uang menjadi sarana untuk memperlancar urusan dengan institusi lain.
Skandal suap BI ini menjadi gambaran kita semua. Bahwa semua sektor melakukan apa yang pernah dilakukan BI, ujarnya.
Ia mendesak agar KPK mengusut tuntas masalah ini sebab dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) maka sudah bisa diprediksikan ke mana aliran dana itu.
Selain Burhanuddin, KPK juga menetapkan Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur BI, Rusli Simandjuntak, yang kini menjabat sebagai Kepala Perwakilan BI di Surabaya sebagai tersangka.
Pada 22 Juli 2003 Rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada YPPI senilai Rp100 miliar.
Oey yang pada 2003 menjabat sebagai Deputi Direktur Hukum menerima langsung dana YPPI itu dari Ketua YPPI Baridjusalam Hadi dan Bendahara YPPI, Ratnawati Sari.
Selanjutnya, Oey mencairkan cek dan menyerahkan uang tunai kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawinata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo.
Sedangkan sisanya, senilai Rp31,5 miliar diberikan oleh Rusli Simandjuntak kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No.23 Tahun 1999 tentang BI.
Di samping dana dari YPPI, BI juga mengeluarkan uang sebesar Rp15 miliar dari anggaran BI sendiri untuk bantuan hukum kepada tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo, yang dikeluarkan pada masa Syahril Sabirin menjabat Gubernur BI.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008