Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum mantan Presiden Soeharto, OC Kaligis, menyatakan agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menutup perkara perdata yang menjerat kliennya. Kaligis menyatakan hal itu kepada majelis hakim yang menangani perkara tersebut, Selasa, terkait meninggalnya mantan Presiden Soeharto. Dia berpendapat, perkara perdata tidak selalu bisa dialihkan kepada ahli waris, karena tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk melanjutkan gugatan. Bahkan, OC Kaligis menegaskan, ahli waris bisa menolak suatu gugatan. "Kami memohon perkara ini ditutup saja," katanya. Senada dengan Kaligis, kuasa hukum Soeharto, M. Assegaf menjelaskan ahli waris dapat menolak untuk menanggung kewajiban hukum dalam kasus perdata jika ahli waris tidak menerima warisan. Untuk itu, ahli waris Soeharto bisa menolak melanjutkan kasus perdata jika mereka tidak menerima warisan. "Jangan menolak kewajibannya tapi menerima haknya," kata Assegaf. Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto menetapkan perkara tersebut dialihkan kepada ahli waris sebagai tergugat, setelah penguasa Orde Baru itu meninggal dunia. Ketua Majelis hakim, Wahjono dalam sidang lanjutan perkara tersebut mengatakan, pasal 1813 KUHPerdata menyebutkan kuasa dari seseorang otomatis gugur jika pemberi kuasa meninggal dunia. Sementara itu, beberapa aturan hukum menyatakan gugatan dapat dialihkan kepada ahli waris, jika tergugat meninggal dunia. Aturan tersebut adalah pasal 1194 KUHPerdata, serta keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 53K/SIP/1967 dan 429K/SIP/1971. "Itu dasar dari majelis menetapkan supaya kedudukan tergugat digantikan oleh ahli warisnya," kata Wahjono. Gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diajukan terkait dugaan penyelewengan dana pada yayasan tersebut yang pernah diketuai Soeharto. Kejaksaan juga menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun. Menurut Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munthe, yayasan tersebut pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank pemerintah dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 373/KMK.011/1978, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, namun pada praktiknya tidak demikian dan telah terjadi penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut JPN, merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008