Samarinda (ANTARA News) - Sedikitnya 6,8 juta hektar dari 17 hektar hutan dan lahan di Kalimantan Timur telah rusak, namun oronisnya Departemen Kehutanan justru tahun ini menghentikan pengucuran dana reboisasi (DR)."Kebijakan pemerintah pusat ini cukup ironis karena tidak memberikan DR sementara kerusakan hutan di Kaltim diperkirakan telah mencapai 6,8 juta hektar," kata pemerhati lingkungan Kaltim, Niel Makinuddin, MA di Samarinda, Selasa. Dalam lampiran Surat Menteri Kehutanan Nomor: S.56/Menhut-II/RK/2008 tanggal 24 Januari 2008 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan Tahun Anggaran 2008, tidak terlihat ada alokasi DR untuk Kaltim pada tahun ini. Dalam surat yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Dephut, Boen M. Purnama itu tidak satu pun kabupaten kota di Kaltim mendapat kucuran dana DR 2008. "Luas kerusakan mencapai 6,8 juta hektar itu maka sama artinya dengan dua kali luas hutan di Jawa Barat. Dihentikannya penyaluran DR menjadi persoalan sangat serius bagi pelestarian hutan di Indonesia, mengingat hutan Kaltim adalah bagian dari `heart of Borneo`(jantung Kalimantan, red) atau menjadi salah satu sumber penghasil oksigen nasional," imbuh Niel. Ia menjelaskan dengan tidak dikucurkan Dana Reboisasi maka upaya merehabilitasi dan mereboisasi kawasan hutan yang rusak di Kaltim akan mengalami persoalan serius. "Jelas luas kerusakan akan bertambah karena dengan kondisi seperti itu, hutan akan rawan mengalami kebakaran khususnya pada musim kemarau." imbuh mantan Direktur Ekskutif Walhi Kaltim itu. Niel yang juga peneliti pada Proyek Pesisir (kerja sama daerah dengan lembaga internasional untuk pelestarian kawasan pantai dan laut Kaltim ) itu menjelaskan dengan dihentikannya dana DR pada 2008, maka hal iru mengakibatkan menambah jumlah pengangguran di Kaltim karena dari proyek DR banyak menyerap tenaga kerja. Sebelumnya, Kaltim mendapat dana DR sekitar Rp100 miliar per tahun, untuk merehabilitasi dan mereboisasi hutan di Kaltim , namun ternyata jumlah itu tidak berimbang dengan luas kerusakan hutan. Misalnya seperti di wilayah Bulungan dana DR mencapai Rp18 miliar per tahun hanya mampu untuk merehabilitasi dan mereboisasi lahan seluas tiga hektar. Sedangkan laju kerusakan hutan di Kaltim diperkirakan mencapai 500 ha per tahun Menyinggung tentang perkiraan bahwa pusat tidak mengalokasikan DR untuk Kaltim karena daya serap rendah, ia menjelaskan pertimbangan pusat itu sangat administratif sekali dengan mengabaikan kondisi di lapangan. "Kondisi di lapangan berbeda dengan kenyataan, khususnya dikaitkan dengan rendahnya daya serap dana itu. Hal tersebut akibat peraturan yang begitu kaku, sehingga banyak pejabat ragu-ragu melaksanakan proyek. Sebaiknya, persoalan ini diselesaikan satu meja antara pusat dan daerah, bukan langsung menghentikan DR," katanya. Ketakutan Daerah Ketakutan daerah terkait dengan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa termasuk Juknis dan Juklaknya sehingga banyak pejabat enggan menjadi pimpro untuk melaksanakan proyek sehingga daya serap DR di daerah rendah. Ia mencontohkan, Pemkot Balikpapan memanfaatkan sebagian dana DR untuk pemagaran hutan lindung, namun kemudian dipersoalkan oleh pihak kejaksaan karena dianggap sebuah penyimpangan serius. "Alasan Pemkot Balikpapan masuk akal, yakni kegiatan reboisasi tidak bermanfaat apabila kawasan tersebut tidak dipagar karena dengan mudah masyarakat mengkapling dan menjarah kawasan yang dekat dengan jalan raya itu," katanya. Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Budi Pranowo dan Kepala Biro Humas Pemprov Kaltim, Jauhar Effendi enggan memberikan komentar mengenai dihentikan DR untuk Kaltim pada 2008 dengan alasan belum mendapat pemberitahuan resmi dari Dephut. "Memang dalam penerapan aturan sangat kaku, khususnya Keppres 80 sehingga bukan hanya pada sektor kehutanan, pada bidang lainnya juga daya serap keuangan sangat rendah akibat banyak pegawai yang takut menjadi pimpro. Seharusnya yang dianggap penyimpangan apabila terjadi mark up (penggelembungan dana) ataupun manipulasi barang, namun kesalahan administrasi kini juga digolongkan penyimpangan berat," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008