Sosial media membuat orang sangat mudah terpapar paham radikalisme. Dengan sosial medianya orang tersebut hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar dan dilihatnya. Algoritma mesin di media sosial semakin menyuburkan radikalisme tersebut

Jakarta (ANTARA) - Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam mencegah penyebarluasan paham radikalisme, tidak hanya dalam memberikan masukan kepada pemerintah, tetapi kontribusi nyata salah satunya dengan postingan positif di media sosial, kata Pakar Sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati.

"Masyarakat jangan hanya bisanya memberikan masukan, tapi apa kontribusinya," kata Devie kepada Antara saat dihubungi di Jakarta, Senin (17/6).

Devi mengatakan langkah kecil yang dapat dilakukan masyarakat adalah menyalakan alarm di dirinya dan keluarganya. Apabila menemukan ada keluarga yang terlihat benih-benih intoleran, mulai dilakukan dengan memberikan artikel-artikel yang lebih terbuka soal toleransi, sehingga bisa lebih menerima perbedaan.

Tetapi jika reaksinya sudah mulai tertutup dan memisahkan diri dari kelompok, masyarakat dapat melaporkan hal tersebut langsung ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT,) sehingga BNPT memiliki banyak mekanisme yang bertahap untuk membantu orang-orang yang terindikasi memiliki benih-benih tidak toleran.

Dosen Vokasi Universitas Indonesia mengatakan sosial media membuat orang sangat mudah terpapar paham radikalisme. Dengan sosial medianya orang tersebut hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar dan dilihatnya. Algoritma mesin di media sosial semakin menyuburkan radikalisme tersebut.

"Karena mesin-mesin algoritma ini mampu membaca keinginan, motivasi kita, dengan begitu media sosial hanya akan mengirimkan informasi-informasi yang menjadi menyenangkan diri penggunanya," kata Devie.

Pakar sosial yang juga seorang penulis ini mengatakan kalau dari awal pengguna seseorang mendapatkan pengetahuan tentang intoleran, tentu saja relatif lebih sulit untuk menerima pemikiran yang lain. Karena media sosial yang kita gunakan memberikan hal tersebut.

"Orang sekarang sudah tidak lagi membaca buku, boro-boro. Media sosial yang dibaca cuma rangkuman agregasi berita dan sebagainya. Akibatnya orang tidak lagi memiliki cakrawala yang luas, karena memang media sosial memanjakan egoisme manusia," kata Devi.

Lebih lanjut Devie mengatakan solusi mengatasi paham radikalisme yang menyebar melalui media sosial dapat dilakukan dengan menyebarkan narasi-narasi positif yang membangun toleransi. Karena ketika jagat internet dipenuhi oleh narasi bersifat intoleran, maka menjadi tugas semua pihak untuk membangun narasi-narasi positif tersebut.

Misalnya tulisan jihad, jangan sampai yang masuk di halaman pertama mesin pencari adalah pengertian jihad yang radikal, tidak toleran. Padahal ada banyak pengertian jihad lainnya yang jauh lebih terbuka.

"Artinya, cara pandang yang positif harus banyak memenuhi media sosial, hoaks itu bertebaran, sederhananya karena berita positif tidak ada yang masuk," kata Devi.

Baca juga: Pengamat : Pencegahan radikalisme dengan pendekatan holistik
Baca juga: Pansel capim KPK cegah kandidat berpaham radikal
Baca juga: Keluarga teroris Kalteng didalami kemungkinan terpapar radikalisme

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019