Ketika seseorang sudah memiliki benih-benih tidak toleran terhadap orang lain, itu dengan mudah akan tergoda untuk menjadi radikal tanpa disadarinya.

Jakarta (ANTARA) - Penanganan dan pencegahan radikalisme tidak bisa dilakukan secara pasial, pendekatannya harus holistik, demikian dikatakan Pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati.

"Artinya harus menyeluruh, bergerak bersama, tidak bisa parsial antara satu instansi dengan instansi lain melakukan pendekatan yang satu dan lainnya, semua harus paralel," kata Devie kepada Antara saat dihubungi di Jakarta, Senin (17/6).

Ia mengatakan langkah pertama yang pasti harus dilakukan adalah membangun pendidikan intercultural antara budaya, karena persoalan dari radikalisme diawali dari persoalan sistem kepercayaan.

Menurut dia, ketika seseorang sudah memiliki benih-benih tidak toleran terhadap orang lain, itu dengan mudah akan tergoda untuk menjadi radikal tanpa disadarinya.

"Ketika anda tidak toleran, karena toleran itu bagaimana anda harus bisa melihat dan hidup dalam perbedaan," kata dosen Vokasi Universitas Indonesia (UI) ini.

Devie mencontohkan ketika dirinya melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Sebagai mahasiswa yang berasal dari negara muslim terbesar di dunia memiliki rasa lebih segala-galanya dari pada yang lain.

Tetapi ketika berada di Inggris, dengan kondisi yang ada bahwa muslim atau umat Islam itu menjadi sangat minoritas di negara Ratu Elizabeth tersebut.

"Jadi kalau di Indonesia kita merasa diri kita super power di tempat lain malah menjadi minoritas," ujarnya.

Devie mengatakan ketika seseorang menyadari dirinya sebagai manusia global, yang artinya tidak boleh intoleran terhadap orang lain, maka pemikiran ini dapat menjadi salah satu cara menjadikan perilaku yang toleran.

"Ini berangkat dari cara pandang terhadap orang lain," kata Devie yang juga seorang penulis ini.

Pendiri Yayasan Bakti Aluni dan Abdurahman Wahid Center (AWCenter) UI ini menambahkan, pendekatan holistik tersebut harus melibatkan semua pihak, tidak cukup hanya upaya pemerintah saja, tetapi juga keterlibatan masyarakat.

Ia mengatakan pemerintah sudah berupaya secara komprehensif dengan modul sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan rehabilitasi yang dilakukan bertahap.

Lagi-lagi, pemerintah tidak bisa berdiri sendiri, ketika pemerintah sudah menggunakan perangkat hukum formal, tetapi masyarakat masih menyuburkan paham tersebut serta bagaimana sikap masyarakat menerima mereka yang pernah terpapar menjadi faktor pendukung dalam upaya pencegahan ini.

Upaya yang dapat dilakukan masyarakat, lanjut dia, adalah dengan menyebarkan informasi-informasi positif tentang toleransi, sekaligus menjadi alarm bagi dirinya sendiri maupun keluarganya ketika ada benih-benih radikalisme tersebut muncul.

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, pada tanggal 13 Juni 2019, Kementerian Sosial merehabilitasi puluhan warga yang terpapar paham teroris jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang kini berada di Rumah Singgah Dinas Sosial Kota Palangka Raya.

Puluhan orang tersebut berhasil diamankan oleh Polda Kalimantan Tengah bersama tim Densus 88 di dua lokasi berbeda yakni di Kota Palangka Raya dan Kabupaten Gunung Mas.

Total ada 34 orang yang diamankan, dua orang diantaranya berinisial T dan A merupakan DPO tindak terorisme dari Gunung Salak, Aceh. Sementara 32 lainnya dilakukan rehabilitasi di Rumah Singgah Dinas Sosial Kota Palangka Raya sembari menunggu proses selanjutnya.

Baca juga: Pansel capim KPK cegah kandidat berpaham radikal
Baca juga: Keluarga teroris Kalteng didalami kemungkinan terpapar radikalisme
Baca juga: Kapolda: radikalisme rentan menyerang kaum muda

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019