"Lila lamun kelangan nora gegetun, trima yen ketaman, saserik sameng dumadi, tri legawa nalangsa srahing bathara." (Ikhlaslah bila kehilangan tidak perlu menyesal, lapang dadalah bila mendapatkan, kebencian dari sesama endapkan dan serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa) Sekar Pucung --yang tertoreh di cungkup Astana Giri Bangun itu--, menjadi kalimat peneguh bahwa sandaran terbaik adalah Tuhan, karena Tuhan lah tempat manusia berpulang. Soeharto tahu betul makna tembang macapat karya pujangga KGPAA Mangkunegara IV itu. Karena itu saat membangun Astana Giri Bangun --makam istri, keluarga dan dirinya kelak -- pada 1976, Soeharto berpesan agar kutipan tembang itu ditulis di cungkupnya. Maksudnya tak lain agar keluarga "legawa" menerima ketetapan Tuhan atas kematian, tak perlu "nelangsa" apalagi menyesal. Dan setelah 32 tahun kompleks makam itu rampung dibangun, Tuhan memang mencukupkan usia Soeharto. Minggu pukul 13.10, Sang Jenderal Besar itu mangkat dalam usia 86 tahun 7 bulan 19 hari. Tim Dokter Kepresidenan di bawah pimpinan dr Mardjo Soebiandono, yang selama lebih dari tiga pekan telah bekerja keras untuk memulihkan kesehatannya, harus tunduk pada ketetapan Tuhan itu. Kabar meninggalnya Soeharto diwartakan sendiri oleh putri sulungnya Siti Hardiyanti Rukmana di Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP) Jakarta. "Bapak kami telah dipanggil oleh Allah SWT. Kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada yang telah mendoakan Bapak selama ini," ujar Mbak Tutut, demikian sapaan akrabnya, tegar. Tak lupa, Mbak Tutut meminta masyarakat agar memaafkan segala kesalahan mendiang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengamatkan Indonesia berkabung selama tujuh hari. Sebuah penghormatan yang layak diberikan kepada mantan presiden yang telah memimpin negeri (yang kerap disebutnya) "Gemah Ripah Loh Jinawi " ini. "Hari ini, kita semua berduka dengan wafatnya Bapak Haji Muhammad Soeharto, Presiden RI kedua karena sakit," ucap Presiden Yudhoyono di podium Istana Kepresidenan. Atas nama negara, Presiden mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya penguasa selama 32 tahun itu. "Saya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mendoakan almarhum agar diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT sesuai pengabdian, jasa, amal baiknya baik kepada masyarakat, bangsa, negara, dan dalam kehidupan umat manusia," ujarnya. Semenjak lengser dari kursi Kepresidenan pada 21 Mei 1998, riwayat kesehatan Soeharto sungguh berliku. Pria kelahiran Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 itu, tercatat lebih dari 12 kali mengalami gangguan kesehatan, dan delapan kali di antara harus dirawat inap di RSPP. Mulai dari stroke ringan, perembesan darah dari anus, sesak napas, kelainan jantung --sehingga harus dipasang alat pacu jantung permanen-, radang paru-paru, pendarahan pada usus besar --yang mengharuskan ususnya dipotong sepanjang 40 cm--, penyumbatan pada pembuluh darah di otak, gagal ginjal, sampai yang terakhir kegagalan multi organ. Kegagalan multi organ Soeharto itulah, yang disebut Tim Dokter Kepresidenan, sebagai penyebab kematian Soeharto. Wafatnya penguasa Orde Baru itu juga menjadi antiklimaks perdebatan khalayak, tentang layak tidaknya Soeharto dimaafkan atau perlu tidaknya pengadilan terhadap Soeharto dilanjutkan. Sampai wafatnya, Soeharto masih menghadapi tuduhan korupsi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Tuduhan korupsi antara lain dilayangkan kepada Soeharto, dalam kasus Yayasan Supersemar, yang diketuainya. Pemerintah melalui kejaksaan menggugat Soeharto senilai 420 juta dolar AS dan Rp185 miliar. Pemerintah juga menggugat kerugian immaterial Rp10 miliar. Alasannya, yayasan pemberi beasiswa itu dianggap menyalahgunakan dana yang dihimpun dari sisa laba bersih bank-bank milik pemerintah. Sebagian dana yang seharusnya untuk mahasiswa dan pelajar kurang mampu, diduga dialirkan ke perusahaan milik keluarga Soeharto dan kroninya. Pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Soeharto, antara lain pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, operasi militer di tanah Papua, penculikan aktivis prodemokrasi, kasus pembantaian di Tanjung Priok, dan penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta. Di samping masalah hukum itu, Soeharto juga dituduh mengaburkan sejarah Supersemar, Serangan Oemoem 1 Maret dan menistakan mendiang proklamator Soekarno diakhir hayatnya. Bagi Soeharto masalah yang melingkupinya itu akan terkubur bersama jasadnya. Tanggung jawabnya bukan lagi kepada rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia, tapi "hanya" kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maaf dan maaf Apa yang dibutuhkan Soeharto kini? Tak lebih dari sepotong kain kafan dan sepetak liang lahat. Doa-doa dan permaafan mungkin akan melancarkan ruhnya menghadap Sang Khalik, tapi tanpa itu pun ia tetap menuju arsy-Nya. Soeharto tak membawa masalah "duniawi" ke Sang Pencipta. "Utang-utang" semua diwariskan kepada keluarga, kroni, sahabat, pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menyelesaikannya. Seberapa panjang kasusnya akan diperdebatkan, tidak lagi tergantung dirinya, tapi tergantung mereka yang masih hidup. Mantan Ketua MPR Amien Rais, menempuh jalan untuk memaafkan. "Saya memaafkan Pak Harto. Saya juga mengajak pemerintah untuk mengambil langkah (memafkan), supaya kasus Pak Harto ada pemecahannya. Karena selama hampir 10 tahun, kasusnya terlunta-lunta," katanya. Guru Besar UGM Yogyakarta itu sangat menyayangkan sikap pemerintah selama ini yang cenderung gamang mengambil tindakan, hingga Pak Harto tutup usia. Partai Golkar jauh-jauh hari juga ingin agar bangsa Indonesia memaafkan Soeharto. Bahkan 67 responden dari sebuah survei setuju jika kesalahan Sang Jenderal Besar itu dimaafkan. Namun, tetap saja tidak ada kata sepakat untuk mengakhiri masalah itu. Terlunta-luntanya kasus pidana dan perdata Soeharto, juga disesalkan mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Andi Arief. Meninggalnya mantan Presiden Soeharto, menurut dia, menyisakan permasalahan serius bagi negara, keluarga Soeharto, dan masyarakat Indonesia. "Kita gagal membuka pintu rekonsiliasi. Seharusnya saat dia meminta maaf semestinya segera diadili, sehingga bagi korban orde baru yang merasa dirugikan menemukan jawabannya," kata Arief, aktivis yang pernah dipenjara saat Orde Baru, di Jakarta, Minggu. Kesedihan bagi negeri ini, ujar Andi, karena tidak selesainya kasus hukum. "Sekarang keluarga yang menanggung beban berat. Kecuali mereka melakukan tindakan drastis menyelesaikan masalah tersebut untuk diselesaikan oleh negara," katanya. Jika tidak, hukuman sosial politik kepada anak-cucu Soeharto akan tetap melekat di rakyat. Hari-hari ini dan hingga satu pekan mendatang, halaman kantor-kantor dan sebagian besar rumah warga seantero Indonesia mungkin akan terpasang "bendera setengah tiang" tanda berduka cita. Shalat Ghaib, tahlil dan tadarus juga akan terus berkumandang di Jalan Cendana, Astana Giri Bangun, Desa Kemusuk, Dalem Kalitan, Masjid At Tien dan banyak tempat lagi di Indonesia. Tapi, masalah Soeharto tetap akan tetap menjadi "penyakit menahun" jika kasusnya tak segera diselesaikan. Dan jalan termudah adalah memaafkannya, "legawa nalangsa srahing bathara." (*)

Oleh Oleh Teguh Priyanto
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008