Kegiatan yang dilaksanakan di area Car Free Day di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (16/06) tersebut membahas tentang makanan yang diduga mengandung plastik dan arti kode E-Number yang ada pada kemasan produk pangan untuk menjawab keresahan masyarakat.
Perwakilan dari Kedeputian III Badan POM, Alex menegaskan bahwa isu pangan yang mengandung karbon, lilin, dan zat-zat lainnya yang dapat membuat makanan mudah terbakar adalah hoaks.
Badan POM memastikan bahwa isu tersebut adalah hoaks. Karena Badan POM selalu melakukan pemeriksaan dan penelitian laboratorium terhadap produk makanan yang akan beredar, dan jika terbukti layak, maka akan diberikan Nomor Izin Edar (NIE) sebagai bukti kelayakannya.
Selain itu, isu kehalalan juga menjadi sorotan, dimana akhir-akhir ini, berkembang isu bahwa kode E-Number pada produk pangan adalah produk yang mengandung babi. Isu tersebut juga tidak benar.
"Kode E-Number pada pangan bukan menjadi patokan untuk menentukan halal atau tidaknya suatu produk. Kode tersebut merupakan kode klasifikasi untuk bahan tambahan pangan (BTP) seperti penguat rasa, pewarna, pengawet, dan sebagainya," jelas Alex.
“Kami pastikan itu (isu kode E-Number kode pangan mengandung babi) tidak benar. Kami selalu melakukan pengujian dan meneliti kandungan apa saja yang terdapat dalam pangan. Kami juga bekerja sama dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang memiliki wewenang untuk menentukan halal atau tidaknya produk pangan tersebut,” jelasnya.
Alex juga menjelaskan, selain melakukan analisa, pemeriksaan, dan pengujian terhadap pangan, Badan POM juga bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarat. Badan POM siap sedia untuk menerima pertanyaan dan pengaduan dari masyarakat.
“Kami memiliki website www.pom.go.id dan layanan pengaduan Halo BPOM 1500533, serta sosial media seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang siap sedia menerima pengaduan dan pertanyaan dari masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Presidium Mafindo, Anita Wahid menyatakan isu hoaks mengenai pangan merupakan isu yang nampaknya sederhana tapi sangat berdampak pada masyarakat.
“Contohnya seperti isu telur palsu yang diawali dengan seseorang yang kebetulan membeli telur dan kelihatannya aneh. Lalu ia mengunggahnya di sosial media yang dia punya lalu viral. Itu berdampak pada konsumsi telur yang menurun karena rasa takut akan telur palsu tersebut serta merugikan orang banyak,” katanya.
Anita melanjutkan, masalah tersebut harus segera diatasi untuk mencegah kecurigaan masyarakat yang dapat berdampak merugikan berbagai pihak.
“Masyarakat harus diajak untuk melihat berbagai macam informasi secara berimbang serta mengecek atau meneliti kebenaran dari informasi atau isu tersebut agar mengurangi timbulnya hal-hal yang bisa merugikan berbagai pihak,” tutupnya.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019