Jakarta (ANTARA News) - Ia memakai kemeja batik lengan panjang, mengenakan mirip topi pandan petani namun terbuat dari bahan kulit dan jambangnya yang putih menjulur searah panjang daun telinganya sedangkan di kiri kanannya tiga pembalap dunia sedang tersenyum ceria mengenakan baju balap mereka. Itulah gaya Pak Harto ketika diapit Michael Doohan (Australia), Alex Barros (Brasil) dan Loris Capirossi (Italia) yang naik podium saat berfoto bersama seusai presiden Soeharto memberikan piala kemenangan kepada ketiga juara di kelas paling bergengsi 500 CC Moto-GP di Sirkuit Internasional Sentul, 7 April 1996. Ilustrasi Pak Harto didampingi pembalap dunia itu, terpampang pada halaman 154 buku luks Olah Raga Otomotif Indonesia, catatan perjalanan sejarah 1950-2002 terbitan Andrew Tani & Co (2003). Pada kesempatan itu, presiden kedua RI yang tutup usia pada Minggu (27/1-2008) itu sempat membahas dampak promosi event tersebut terhadap nama dan pariwisata Indonesia ke dunia internasional melalui tayangan langsung televisi yang disiarkan ke 58 negara dan disaksikan lebih dari 400 juta orang. Presiden juga menganjurkan panitia untuk menjajaki kemungkinan penyelenggaraan balap Formula Satu (F1) di Indonesia serta menekankan pentingnya untuk segera memiliki "local hero" di arena olahraga otomotif dunia. Marlboro Indonesia Grand Prix untuk kedua kalinya dan terakhir diadakan di Sirkuit Sentul pada 28 September 1997 dan ketika itu Roberto Nosetto, pimpinan sirkus Moto-GP Indonesia menyatakan prospek dan citra Indonesia di olahraga otomotif dunia sudah semakin meningkat. Ungkapan Roberto itu bukan tidak beralasan, karena pada tahun yang sama (1996-1997) di Sumatera Utara berlangsung kejuaraan dunia reli mobil (WRC=world rally championship). Sedangkan kejuaraan dunia motocross 125 CC diadakan di Yogyakarta pada 1995-1996-1997 dan kejuaraan dunia motocross 250 CC di Jatinangor, Bandung, 2-3 Agustus 1997. Baik Indonesia GP, reli mobil dunia dan motocross, terhenti karena negara sedang dilanda krisis multidimensi. Dalam catatan sejarah olahraga otomotif Indonesia, Sirkuit Sentul sebagai pengganti Sirkuit Ancol, merupakan momentum paling bergengsi dan sirkuit itu disebut-sebut sebagai "etalase" olahraga otomotif Indonesia. Pak Harto meresmikan sirkuit internasional itu pada 22 Agustus 1993 setelah setahun sebelumnya, tepatnya pada 6 Desember 1992, diadakan peresmian awal (soft opening) bersamaan dengan perlombaan Indonesia GP dan tahun berikutnya diresmikan bersamaan dengan perlombaan internasional Formula Brabham. Ketika di sirkuit internasional itu dilangsungkan kejuaraan dunia super-bike 1994, merupakan putaran keenam dari 12 seri sepanjang tahun itu, terjadi rekor penonton,-- sekitar 40.000 orang,--dan acara itu disiarkan langsung oleh Star TV dan RCTI. Ketika diadakan kejuaraan dunia Moto-GP, mobil penonton terpaksa diparkir di sepanjang tol sepanjang belasan kilometer, karena area dalam sirkuit itu tidak mampu menampung banjirnya kendaraan ke lokasi itu. Pak Harto ketika itu amat berinisiatip mengatakan melalui olahraga akan tercipta promosi wisata yang luar biasa. Sebelumnya, Presiden Soekarno, mengatakan olahraga merupakan alat perjuangan paling handal dalam meningkatkan kebanggaan bangsa di mata dunia. Pak Harto pula satu-satunya presiden Indonesia yang mendambakan di negara ini diusahakan diadakan perlombaan F1, jenis lomba yang kini amat diminati negara Asia, termasuk Singapura yang sudah berhasil sebagai tuan rumah penyelenggaraan malam hari pada 2008. Gengsi Asia Tenggara Dunia olahraga Indonesia jalan di tempat, atau prestasinya menurun, atau kualitas atlet lain yang meningkat tajam? Itu pertanyaan paling sederhana saat ini, karena di jaman pemerintahan Soeharto prestasi olahraga Indonesia sangat menonjol. Keberhasilan itu dibuktikan lewat dominasi atlet nasional di kancah Asia Tenggara. Di era Soeharto, Indonesia berpartisipasi pertama kali dalam pesta olahraga dua tahunan SEA Games pada 1977. Sebelum SEA Games, acara itu bernama SEAP (Southeast Asian Peninsular) Games. Dimulai sejak 1959. Luar biasa, ketika pertama kali berpartisipasi, Indonesia langsung berada pada posisi terdepan dalam urusan pengumpulan medali dengan menggeser dominasi Thailand. Pada periode kepemimpinan Soeharto tercatat Indonesia 11 kali ambil bagian sejak 1977 hingga 1997 dan kedudukan nomor satu hanya digeser Thailand saat Negeri Gajah Putih itu menjadi tuan rumah pada 1985 di Bangkok dan 1995 di Chiang Mai. Setelah terjadi pertikaian politik, Soeharto lengser keprabon dan Era Reformasi lahir menggantikan Orde Baru. Tidak perlu dipungkiri, perekonomian, keamanan, budaya, politik, hingga olahraga nasional pun kacau-balau dan ketrampilan atlet Indonesia di panggung internasional langsung runyam. Bukti kerunyaman prestasi itu terlukis tatkala posisi Indonesia langsung tergeser ke posisi ketiga pada SEA Games Brunei 1999. Dua tahun berikutnya di Kuala Lumpur, posisi Indonesia merosot lagi ke urutan keempat dan itu berulang di Hanoi 2003. Rekor terburuk tercipta di Manila 2005 ketika tim nasional terperosok ke posisi kelima dan terakhir di Thailand 2007, bertengger di tangga keempat. Setelah era Soeharto, muncul empat presiden pengganti, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kejadian memprihatinkan mengetengah, yaitu dibubarkannya Kementerian Olahraga saat Gus Dur dan Megawati menjadi presiden. SBY menghidupkan kembali Kementerian Olahraga, tetapi Indonesia belum bisa meraih kembali posisi puncak pada olahraga Asia Tenggara itu. Kepedulian dan "kemauan politik" pemerintah terbukti efektif seperti ketika dikumandangkan Soeharto motto "Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat" yang dicetuskan 9 September 1983 pada Hari Olahraga Nasional (Haornas). Hampir seluruh lapisan masyarakat dan kantor pemerintah tergerak untuk turut ambil bagian dalam gerak jasmani serempak dan menjadi gerakan nasional itu, sementara kekuatan Indonesia semakin tidak dapat dipandang sebelah mata di Asia Tenggara. Kini "The smiling general" itu telah tiada. Menyimak era kepemimpinan presiden yang suka mancing dan main golf itu tidak seharusnya menggunakan "kacamata kuda" alias secara hitam putih. Walau pun saat ini tidak selalu benar, tetapi ada pameo yang mengatakan: Bila ingin melihat kemajuan suatu negara, lihatlah kemajuan olahraganya! Soeharto kelihatannya memahami ungkapan itu dan tentu saja lewat motto pada Haornas 1983 itu secara tidak langsung menyiratkan ia pun amat faham dengan moto: dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Selamat jalan Pak Harto.(*)
Oleh A.R.Loebis
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008