Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dinilai perlu lebih cepat dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) agar dapat meningkatkan rasio elektrifikasi di berbagai daerah sekaligus mewujudkan energi berbasis ramah lingkungan di seluruh kawasan Nusantara.
"Ini menjadi tugas pemerintah (mengembangkan EBT). Komisi VII DPR akan meminta kepada Menteri ESDM untuk lebih serius menangani masalah ini," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam dalam rilis yang diterima, Sabtu.
Menurut Ridwan Hisjam, dari kunjungan seperti ke Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) 50 Mega Watt di PLTG Teluk Lembu, Provinsi Riau yang dioperatori oleh PLN, beberapa waktu lalu, terlihat pembangkit itu memiliki proses pengelolaan lingkungan yang cukup baik antara lain terindikasi karena tidak ada polusi yang ditimbulkan karena menggunakan gas.
Untuk itu, ujar dia, diharapkan ke depannya PLN juga dapat terus mengembangkan energi berbasis ramah lingkungan seperti itu dan mulai untuk meninggalkan energi yang berbasis fosil.
Politisi Partai Golkar itu mengakui proses tersebut memang tidak bisa dilakukan secara langsung, melainkan harus dilakukan secara bertahap.
Hal tersebut juga dinilai menjadi solusi bagi sejumlah daerah yang kondisi daerahnya membuat tidak bisa dialiri oleh pembangkit konvensional.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam APBN juga akan diatur mengenai bantuan bagi masyarakat yang tidak mampu untuk membayar biaya pemasangan listrik PLN.
"Jadi dari Pemerintah melalui Kementerian ESDM akan membantu masyarakat yang tidak mampu membayar biaya pemasangan listrik, tetapi untuk pembayaran bulanannya tetap ditanggung oleh masyarakat sendiri," katanya.
Komisi VII DPR RI juga mendorong agar PLN dapat mengembangkan EBT dengan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) antara lain karena Bumdes mempunyai anggaran yang berasal dari program Dana Desa.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) masih sangat lambat meski Indonesia kaya terhadap potensi sumber daya EBT.
Fabby menuturkan sepanjang 2015-2018, penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan hanya 882 mega watt (MW). Padahal, di era sebelumnya, yakni 2010-2014, kapasitas pembangkit EBT bisa mencapai 2.615,7 MW.
Kalau ini diteruskan sampai 2019, ia memperkirakan bahwa jumlah itu hanya bertambah 300 MW sehingga total kapasitas maksimum hanya 1.200 MW.
Dengan capaian porsi EBT dalam bauran energi yang saat ini baru 8 persen, pemanfaatan EBT masih disebut sangat lambat. Padahal sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) capaian saat ini seharusnya sudah mencapai 16 persen agar bisa mencapai target 23 persen pada 2025.
Rasio elektrifikasi pun ditaksir naik memenuhi target 96 persen pada akhir 2019. Namun, lanjutnya, regulasi yang ada justru dinilai menghambat perkembangan EBT.
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan bahwa pemanfaatan EBT membutuhkan modal sekitar 90 miliar dolar AS untuk bisa mencapai target 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025.
Baca juga: Menteri Perdagangan Jepang undang Jonan bahas investasi EBT
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019