Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun, di Jakarta, Sabtu, menilai, Mahkamah Agung (MA) telah menempuh sebuah `terobosan hukum` dalam vonis 20 tahun penjara atas Pollycarpus Budihari Priyanto terkait kasus tewasnya aktivis HAM, Munir. Ia mengatakan itu menanggapi pernilaian sementara kalangan praktisi hukum, termasuk Mohammad Assagaf, yang menuding ada `akrobat hukum` di balik vonis terakhir terhadap Pollycarpus tersebut. "Saya katakan akrobat hukum, karena tak pernah ada hukuman berdasarkan PK oleh Makamah Agung (MA) yang lebih berat dari hukuman karena vonis di Pengadilan," katanya. Bahkan, menurut Mohammad Assagaf, telah terjadi `penyerobotan hukum` oleh pihak Kejaksaan yang menggunakan PK, padahal itu mestinya merupakan hak terpidana, tersangka atau ahli warisnya. Menanggapi hal itu, Gayus Lumbuun yang juga Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR RI, berpendapat sama. "Memang menurut KUHAP pihak yang boleh mengajukan PK adalah terpidana, atau ahli warisnya," ujarnya. Namun, lanjut Gayus Lumbuun, karena dalam beberapa kasus sudah terjadi dan kemudian menjadi yurisprudensi sebagai "penerobosan hukum", sehingga itu berlaku lagi. "Kemudian, mengenai hukuman lebih (karena adanya PK) dibanding dari putusan Pengadilan, juga merupakan "Terobosan Hukum" yang mungkin saja akan menjadi yurisprudensi juga," kata Gayus Lumbuun dalam nada penuh arti.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008