Memang awalnya kami menanam bakau ini untuk melindungi rumah kami dari abrasi yang dipicu terpaaan ombak besar

Sinjai (ANTARA) - Kalau ada slogan dan lagu "nenek moyangku seorang pelaut", kiranya ini tidak terlepas dari kehidupan masyarakat di kaki Pulau Sulawesi yang berbentuk seperti huruf K yakni Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.

Kabupaten Sinjai yang terletak sekitar 190 km dari Kota Makassar atau sekitar lima jam perjalanan darat lewat Jalan Poros Makassar menuju jalan poros Kabupaten Maros, Bone, dan selanjutnya tiba di Kabupaten Sinjai.

Sepanjang jalan menuju Sinjai, terpapar pemandangan yang menarik melintasi pegunungan karst (batu kapur) dan gugusan pegunungan Bulu Saraung di Kabupaten Maros dan Bone.

Kabupaten yang bertetangga Kabupaten Bone ini memiliki jumlah penduduk sekitar 234.886 jiwa didominasi Suku Bugis dan wilayahnya terdiri dari sembilan kecamatan dengan 88 desa/kelurahan dan sebanyak 13 desa/kelurahan di antaranya merupakan wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 41,06 km dan 17,36 km wilayah kepulauannya.

Di Sinjai juga terdapat 10 pulau dan satu pulau di antaranya belum terdaftar. Sedang yang berpenghuni delapan pulau dan sisanya belum berpenghuni. Jumlah penduduk pesisirnya tercatat sebanyak 64.667 jiwa berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sinjai 2017.

Secara morfologi daerah ini 55,5 persen terdiri dari daratan tinggi dengan medan berbukit, bergelombang, hingga bergunung. Sementara secara klimatologi terletak pada sisi musim timur yang musim basah jatuh pada April - Oktober dan bulan kering Oktober - April.

Untuk wilayah pesisir Kabupaten Sinjai, sebagian berada di Kecamatan Sinjai Timur dengan lima desa yakni Desa Samataring, Tongke-Tongke, Panaikang, Pasimarannu dan Desa Sinjai.

Dari lima desa tersebut, Desa Tongke-Tongke namanya sempat menasional ketika penghargaan bidang lingkungan yakni Kalpataru diberikan pada pemrakarsa hutan mangrove (bakau) H Taiyeb pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada 1995.

Sejak saat itu, nama Desa Tongke-Tongke berikut hutan bakaunya mulai dikenal dan menjadi perbincangan di tingkat nasional sebagai contoh yang patut direplikasi oleh daerah pesisir lainnya di Indonesia.

Lelaki yang 24 tahun silam menerima penghargaan Kalpataru di Istana Merdeka ini, pada usianya yang sudah di atas 70 tahun masih tetap bersemangat mengembangkan tanaman ataupun bibit bakau untuk ditebar di wilayah pesisir.

"Memang awalnya kami menanam bakau ini untuk melindungi rumah kami dari abrasi yang dipicu terpaaan ombak besar," kenang H Taiyeb.

Usaha itu ternyata membuahkan hasil karena pemukiman warga sudah bebas dari abrasi pantai. Selain itu warga setempat mendapatkan keuntungan karena menjadikan biota laut di tanaman bakau sebagai sumber penghasilan keluarga, di samping ada pula yang berjualan di kawasan hutan bakau Tongke-Tongke.

Usaha pembibitan tanaman bakau ini menjadi tambahan penghasilan keluarga saat mereka tidak melaut karena musim ombak atau kondisi cuaca ekstrem.

Sebagai gambaran jika lima tahun silam harga bibit tanaman bakau masih Rp1.000 per bibit, kini sudah mencapai Rp2.000 per bibit dan biasanya mitra atau perusahaan memesan ratusan hingga ribuan bibit.

Manfaat lainnya yang berdampak langsung pada warga Desa Tongke-Tongke adalah air sumur kadar yang garamnya terus menurun. Padahal 10 tahun silam air sumur di desa itu asinnya sama saja dengan air laut, sehingga tidak dapat diminum, mandi, atau digunakan membilas pakaian.

"Alhamdulillah sudah banyak perubahan dengan adanya bakau ini," ujar lelaki bersahaja ini yang mendorong lahirnya Kelompok Sadar Wisata Aku Cinta Indonesia (ACI) di Kabupaten Sinjai pada 1987, yang kemudian dilanjutkan oleh Zainuddin selaku Ketua ACI.

Khusus untuk pembibitan, Taiyeb mengakui masih menjadi pelopor untuk mengembangkan bibit tanaman bakau di lapangan. Ia tidak lupa melibatkan masyarakat setempat terutama yang tidak memiliki pekerjaan seperti ibu-ibu yang sudah menyandang status janda. Dari upah pembibitan itu mereka dapat membiayai pendidikan anak-anak.

Hal itu diakui Kepala Desa Tongke-Tongke H Sirajuddin. Menurut dia, hampir 80 persen penduduknya menggantungkan hidup dari hasil laut.

Kendati demikian, lanjut dia, pada musim tertentu warga Tongke-Tongke juga bertani sambil mengembangkan tanaman bakau sebagai tambahan penghasilan keluarga.

"Kalau musim tanam mereka menjadi petani, setelah itu mereka melaut, pada waktu-waktu tertentu juga mengembangkan bakau untuk menjaga wilayahnya dari abrasi," kata Sirajuddin yang mengaku tumbuh dan besar di daerah itu, sehingga hafal betul kondisi di wilayahnya selaku pemerintah desa.

Kendati jabatan sebagai Kepala Desa Tongke-Tongke baru dijabat pada Desember 2016, namun semasa pemerintahannya belum ada bantuan dana kemitraan. Dengan demikian, untuk pemeliharaan bakau dan pengembangannya hanya dilakukan atas swadaya masyarakat setempat.

Sementara pada tahun lalu sudah diujicobakan untuk menarik retribusi dari objek wisata Mangrove Tongke-Tongke, yang diawali dengan kesepakatan bahwa jika berhasil nanti maka akan dibagi untuk masuk kas Pemda, masyarakat pengelola hutan mangrove (ACI), dan pemerintahan desa.

Namun setelah proses uji coba itu berjalan, retribusi yang diperoleh sebesar Rp300 juta itu tidak menyentuh ke masyarakat secara langsung. Alasan dari pihak pengelola objek wisata itu yakni Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai, karena belum ada regulasi yang mengatur adanya pembagian retribusi.

Kades Tongke-Tongke ini juga belum menemukan titik temu antara keinginan masyarakat yang ingin memperoleh apresiasi dari hasil usahanya mengembangkan hutan bakau secara turun-temurun, dengan kekhawatiran pihak pemerintah membagi dana retribusi yang belum memiliki regulasi, karena dinilai akan menjadi temuan di lapangan.

"Jembatan kayu yang rusak itupun pusat yang memberikan bantuan ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi datang berkunjung," katanya.

Mengenai karcis retribusi untuk pengujung ke Tongke-Tongke sebesar Rp5.000 per orang itu, seyogyanya karcis yang dibuat Pemda juga diketahui pemerintah desa, sehingga memudahkan fungsi kontrolnya.

Untuk pengembangan hutan bakau tahun ini, diakui ada pro kontra dari masyarakat Desa Tongke-Tongke, sehingga pengerjaan proyek itu penuh dengan kehati-hatian dan harus duduk bersama antara pihak pemerintah dan masyarakat.

Produksi ikan pesisir Dua nelayan memindahkan ikan ke dalam bakul pengangkut di pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Selasa (4/10). Data Dinas Kelautan dan Perikanan setempat menyebutkan, pada tahun 2010 produksi ikan di kabupaten itu mencapai 25.608 ton atau sekitar 70 ton ikan segar perharinya. Sebagian produksi ikan segar itu, juga banyak di ekspor ke luar negeri, untuk jenis ikan tertentu. (FOTO ANTARA/Muhamad Nasrun/Koz/pd/11)

Potensi Perikanan

Selaku pemerintah desa, Kepala Desa Tongke-Tongke H Sirajuddin mengaku sangat mendukung upaya menjadikan Tongke-Tongke sebagai desa wisata.

"Hanya saja ke depan diharapkan tidak ada ketersinggungan dalam menata hutan bakau ini, karena semua untuk kepentingan bersama," katanya.

Dia sendiri berharap agar masyarakat desa terus melestarikan hutan bakau ini, apalagi masyarakat Desa Tongke-Tongke sudah paham betul manfaat bakau dalam kehidupan mereka.

Bahkan BUMDes yang ada siap membantu pengelolaan wisata Tongke-Tongke, sehingga peranan BUMDes bukan hanya mengelola dana simpan pinjam warga saja seperti yang dilakukan selama ini.

Potensi lain yang dimiliki Desa Tongke-Tongke ini sebagai salah satu desa di Kecamatan Sinjai Timur turut berkontribusi terhadap volume produksi sektor perikanan tangkap yang rata-rata 13.036 ton per tahun dan hasil tambak sebesar 9.204 ton per tahun berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Sinjai.

Alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan di daerah itu pun bervariasi mulai dari tanpa perahu, perahu tanpa motor, perahu motor tempel hingga kapal mesin dengan kapasistas 5 hingga 30 Gross Ton (GT).

Menurut salah seorang nelayan Desa Tongke-Tongke Amiruddin yang ditemui di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lappa, kalau dulu nelayan di desanya hanya mencari ikan di sekitar Sinjai, karena masih banyak ikan dan biota laut di kawasan Mangrove yang dapat memberikan penghasilan yang memadai.

Namun beberapa tahun terakhir sebagian nelayan di desanya lebih jauh mencari ikan, bahkan ada yang masuk ke wilayah provinsi tetangga misalnya Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Begitu pula sebaliknya, kerap nelayan dari luar diamankan oleh pihak keamanan Kabupaten Sinjai karena menggunakan alat tangkap yang dilarang. Seperti beberapa bulan lalu nelayan asal Kabupaten Bone yang menggunakan pukat harimau ditangkap di Kabupaten Sinjai oleh masyarakat setempat bersama pihak Angkatan Laut.

"Kami hanya tahunya mencari ikan saja, tidak tahu tentang perlu izin atau tidak, karena kakek-kakek kami sebelumnya juga hanya melaut saja tidak ada urusan surat-menyurat," ujar Amiruddin.

Kondisi itu menurut Kabid Perikanan DKP Sinjai Nasir Mallawi karena ketidaktahuan para nelayan dan sosialisasi yang cukup minim.

"Masalah perizinan sebelumnya dilakukan di kabupaten saja, namun dengan kebijakan baru itu kini diambil alih provinsi dan pusat, sehingga mereka yang tidak tahu prosedur mungkin menganggap ini repot," katanya.

Namun seiring dengan perkembangan teknologi digital, lanjut dia, proses perizinan ke depan sudah dapat dilakukan secara daring, tinggal menunggu sosialisasi saja di lapangan.

Minimnya personel di lapangan menjadi salah satu kendala sehingga sosialisasi perizinan di sektor perikanan tangkap ini kurang dipahami masyarakat Sinjai yang berprofesi sebagai nelayan.

Tentu kendala ini membutuhkan solusi tersendiri yang tidak hanya tergantung pada kebijakan pemerintah daerah, tetapi juga kebijakan pemerintah pusat dalam merekrut tenaga penyuluh perikanan seperti halnya penyuluh pertanian di lapangan.

enjabat Gubernur Sulawesi Selatan Soni Sumarsono dan Istri Tri Rachayu dalam kunjungan kerjanya di Kabupaten Sinjai, Minggu (26/8) sore menyempatkan diri mengunjungi Kawasan Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove Tongke-tongke yang terletak di Kecamatan Sinjai Timur.

Taman Wisata Andalan

Hutan mangrove atau bakau di Desa Tongke-Tongke merupakan salah satu taman wisata mangrove andalan Sulawesi Selatan yang tercatat terluas dan terapat pohonnya di Indonesia.

Tak heran jika lokasi wisata mangrove ini selain memiliki fungsi konservasi untuk menangkal abrasi pantai, juga memiliki fungsi ekologis dan ekowisata.

"Karena itu, pemerintah daerah, provinsi hingga pusat memiliki perhatian khusus untuk pengembangan dan pelestarian hutan bakau Tongke-Tongke," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai Yuhadi Samad.

Berbagai upaya dilaksanakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana di lokasi itu untuk menjadikan hutan mangrove Tongke-Tongke sebagai destinasi wisata unggulan Kabupaten Sinjai.

Yuhadi mengatakan untuk pengembangan objek wisata itu Pemkab Sinjai mendapatkan dukungan dana dari Kementerian Pariwisata pada 2019 sebesar Rp2,1 miliar lebih melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan tambahan sarana dan prasarana di Tongke-Tongke. Selain dana dari Kementerian Pariwisata, Pemkab Sinjai juga memperoleh dana dari Pemrov Sulawesi Selatan sebesar Rp1 miliar untuk melengkapi sarana dan prasarana yang ada di lokasi itu.

Sementara itu, kepedulian Bank Indonesia (BI) dalam membantu melestarikan dan mengembangkan kawasan hutan mangrove tersebut kini dalam tahap pejajakan dan diskusi-diskusi untuk membahas lebih jauh hal-hal yang dapat didukung oleh BI Sulawesi Selatan.

"Dukungan ini pada sisi yang belum mendapatkan bantuan dana dari pihak pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi setempat," ujar Yuhadi.

Dengan adanya perhatian pada hutan mangrove ini, pihaknya berharap bahwa hutan bakau di Tongke-Tongke dapat menjadi wisata unggulan, sehingga menarik banyak kunjungan wisatawan.

Berkembangnya destinasi wisata Tongke-Tongke itu kelak, ungkap Yuhadi, bukan sekedar mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi yang terpenting adalah memberdayakan masyarakat di desa tersebut, sehingga dapat mengambil peran di dalamnya atau menjadi tuan rumah yang baik, sekaligus meningkatkan taraf perekonomian masyarakat.

Hal ini sejalan dengan visi dan misi Bupati Sinjai Andi Seto Ghadista Asapa dan wakilnya Andi Kartini Ottong yang bertekad memajukan sektor pariwisata pesisir dan bahari yang saling mendukung dengan sektor lainnya seperti sektor pertanian dan perikanan di kabupaten yang dikenal sebagai butta panrita kitta.

Menurut Andi Seto, Kabupaten Sinjai memiliki banyak potensi wisata, namun pihaknya akan memfokuskan pengembangan dan pelestarian wisata mangrove Tongke-Tongke yang sekaligus menjadi ikon Kabupaten Sinjai, yang membedakan dengan destinasi wisata lainnya di Sulawesi Selatan.

Kini, tinggal menunggu realisasi dari program pengembangan taman wisata tersebut yang diharapkan dapat merangkul semua pihak, termasuk menjadikan lokasi itu sebagai magnet bagi nelayan Sinjai untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019