Jakarta (ANTARA) - Telegram, pada Rabu (12/3) waktu setempat, mendapat serangan distributed denial of service (DDoS) dan CEO Pavel Durov menuduh China berada di balik serangan itu.
Sebelumnya, Telegram mengeluarkan pernyataan mereka mengalami serangan DDoS yang kuat sehingga pengguna di Amerika Serikat dan beberapa negara lain mengalami masalah koneksi.
Durov membalas salah satu utasan Telegram di Twitter tentang penjelasan serangan DDoS tersebut, menyebut serangan itu bersamaan dengan aksi protes di Hong Kong.
"Alamat IP kebanyakan berasal dari China. Secara runut, semua aktor DDos (200-400Gb/detik junk) yang kami alami bertepatan dengan protes di Hong Kong (koordinasi dengan @telegram). Kasus ini bukan pengecualian," tulis @durov.
Baca juga: Apa artinya pesan terenkripsi?
Puluhan ribu orang berunjuk rasa di jalan-jalan di Hong Kong untuk menolak rencana pemerintah mengenai ekstradisi ke China daratan. Warga Hong Kong khawatir kebijakan itu akan mengembalikan mereka ke ke koloni Inggris semi-otonom di bawah pemerintahan China.
Laman Cnet menuliskan para demonstran menggunakan layanan pesan instan terenkripsi sehingga mereka bisa menyembunyikan indentitas dari pihak berwajib China.
Telegram dan Firechat merupakan aplikasi paling populer di Apple Store Hong Kong. Mengutip Bloomberg, beberapa demonstran menggunakan topeng untuk menyembunyikan wajah dari sistem pengenal wajah dan tidak menggunakan kartu transportasi yang terhubung ke identitas mereka.
Telegram tidak berkomentar atas pernyataan yang muncul di media sosial tersebut.
Baca juga: Dash Text uji coba integrasi WhatsApp-Telegram
Penerjemah: Natisha Andarningtyas
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019