Jakarta (ANTARA News) - Sutradara film Nia Dinata dari Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengungkapkan pihaknya akan memutar lima film yang digunting oleh Lembaga Sensor Film (LSF) dalam persidangan lanjutan Uji Materiil UU Perfilman Nomor 08 Tahun 1992 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, yang waktu pelaksanaannya diatur kemudian. "Lima film yang akan diputar di antaranya `Gie` dan `3 Hari Untuk Selamanya` karya Riri Riza, `Berbagi Suami`, serta dua film lainnya masing-masing diajukan Direktur JiFFest Lalu Rois Amriradhiani dan sutradara Tino Saroengallo," ujar Nia di Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Kamis. Rencana pemutaran film ini telah dibicarakan dalam persidangan lanjutan uji materiil UU Perfilman di MK pada hari Kamis (24/1). Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie itu MFI menginginkan agar film-film tersebut diputar secara keseluruhan. Namun Jimly keberatan karena pemutaran film itu akan memerlukan waktu yang cukup lama. Ia meminta agar yang diputar dalam persidangan adalah potongan-potongan film yang telah digunting oleh Lembaga Sensor Film (LSF). "Kalau ditampilkan potongan-potongan film yang sudah disensor, tidak ada gunanya diputar. Sebab potongan itu tidak bisa memberi makna, untuk memahami dan menangkap pesan sebuah film maka penonton harus menyaksikan secara utuh," ujar Nia. Meski sidang lanjutan belum ditentukan kapan akan digelar, Nia mengungkapkan lima film telah disiapkan MFI dan hanya tinggal menunggu kapan jadwal persidangan. Uji materiil UU Perfilman diajukan oleh para pemohon yakni aktris Annisa Nurul Shanty, produser film Riri Riza dan Nia Dinata, penyelenggara festival film Lalu Rois Amriradhiani, serta sutradara film Tino Saroenggalo. Pemohon menyatakan pasal 1 angka 4, pasal 33 ayat 1 sampai 7, pasal 34 ayat 1 sampai 3, pasal 40 ayat 1 sampai 3, dan pasal 41 ayat 1 huruf B UU Perfilman sepanjang mengenai ketentuan penyensoran bertentangan dengan pasal 28C ayat 1 dan pasal 28F UUD 1945. Pemohon menilai selama ini tidak ada parameter atau ukuran yang jelas tentang penyensoran dan LSF tidak pernah mendasarkan kerjanya pada PP No 7 Tahun 1994 tentang LSF dan Peraturan Menbudpar No PM/31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja LSF dan Tata Laksana Penyensoran. Mereka menyatakan penyensoran yang dilakukan LSF dengan cara menolak secara utuh film karena alasan tematis atau meniadakan dengan cara memotong bagian-bagian berupa judul, tema, dialog, gambar, atau suara tertentu, telah merugikan hak konstitusional pemohon selaku pelaku perfilman Indonesia. "Kami ini bukan orang yang antisensor, tapi kami ingin lembaga yang lebih demokratis, tidak otoriter seperti lembaga (sensor film) yang ada sekarang," demikian Nia. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008