Mekkah (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajak semua pihak untuk melaksanakan Pilkada secara efisien dengan menyatukan pemilihan 480 kepala daerah di Tanah Air secara serentak pada 1 Mei 2011. "Manfaatnya besar sekali. Biaya Pemilu berkurang, TPS kurang dipakai. Yang paling penting ongkos sosialnya lebih rendah. Jangan sampai kasus di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Lampung terjadi lagi," katanya di Mekkah, Rabu malam. Kalla berada di Mekkah untuk melakukan ibadah umroh sekaligus memenuhi undangan Raja Arab Saudi untuk menyaksikan prosesi pencucian Kabah setelah musim haji usai. Menurut Kalla, sistem Pemilu dan Pilkada harus diubah dengan cara disatukan atau disederhanakan. Di Indonesia, menurut sistem yang berlaku sekarang ini ada sekitar 500 pemilihan yang terdiri atas tiga tingkat nasional, 33 tingkat gubernur, dan 480 tingkat bupati/walikota. "Sekarang ini setiap 3,5 hari ada Pilkada," ujarnya. Dengan cepat, Kalla yang berlatarbelakang pengusaha itu menghitung. Jika ada 500 Pilkada dalam lima tahun, maka akan ada 100 Pilkada dalam setahun. Tahun 2008 ini ada sekitar 138 Pilkada. Untuk tingkat gubernur misalnya, ada Pilkada di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Sementara buntut Pilkada di Sulsel dan Maluku Utara belum selesai sehingga belum ada yang dilantik. Unjuk rasa dan demo masih terjadi. "Jangan sampai kasus seperti di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Lampung terjadi lagi. Masalahnya di daerah, demonya di Jakarta. Seolah-olah ini perkara nasional," katanya. Selain ongkos sosial yang tinggi, akibat dari demokrasi yang mahal itu terjadi pemborosan. Secara hitung-hitungan kasar, setiap Pilkasa bisa menghabiskan biaya ratusan miliar. "Siapa yang bayar itu?" katanya mempertanyakan. Secara lebih rinci Kalla menguraikan hitung-hitungan ongkos kampanye dan ongkos mahar untuk dukungan partai. KPU saja minta Rp47 triliun. Pilkada di Jawa Tengah saja mereka minta puluhan miliar. Padahal ada 460 kabupaten. "Bayangkan berapa jumlah pasang calon yang maju. Ada calon yang menghabiskan waktu dua tahun untuk `berkampanye`. Ongkos masyarakat bikin pamplet, bikin rally, bikin diskusi," katanya. Belum lagi, lanjut Kalla, gubernur yang sering tidak masuk kantor pada saat menjelang Pilkada. Waktunya habis untuk keliling-keliling mencari dukungan. "Kalau seorang calon saja ongkosnya 100 miliar saja, maka harus ada usaha untuk bisa membayar kembali. Marilah kita efisien dengan Pemilu," ajak Kalla. Efisien juga dalam arti pelaksanaannya. Misalnya, pendaftaran cukup pakai KTP saja dan saat mencoblos ke TPS tidak perlu pakai kartu Pemilih. Sehingga tidak ada lagi yang marah karena tidak didaftar. Efisiensi juga bisa dilaksanakan dengan cara tidak perlu coblos, melainkan dicatat atau ditulis saja. Hampir tidak ada Pemilu di dunia sekarang ini yang pakai sistem coblos, kecuali di Indonesia. Kenapa di Indonesia pakai sistem coblos, Kalla menceritakan karena dulu 50 persen rakyat Indonesia buta huruf. Sekarang buta huruf tinggal lima persen. "Iya memang masih ada orang buta huruf meski tinggal sedikit. Tapi tidak ada orang yang buta angka. Orang buta huruf tahu angka yang tertera di uang. Jadi sistem tulis bisa dijalankan," katanya yakin. Sekali lagi kala mengajak agar Pemilu disederhanakan. Dalam penyatuan atau penyederhanaan Pemilu itu, paling hanya lima kali Pemilu. Setiap orang lima kali ke TPS, tapi waktunya bersamaan. "Sehingga kita tidak ribut terus menerus setiap kali ada Pilkada," katanya. Menurut Kalla, Pemilu nasional bisa dua kali. Baru kalau tidak ada yang mencapai 50 persen, jadi tiga kali. Dengan demikian maka 480 Pilkada disatukan dalam dua kali saja. Katakanlah tanggal 1 Mei 2011. "Yang belum mencapai 1 Mei 2011 dimundurkan, yang sudah lewat ditunjuk Plt," katanya. Kalla juga mensinyalir sekarang orang mulai capek terhadap ultra demokrasi dan radikalisme. Masyarakat sudah mulai agak berpaling dari gejala ultra dalam demokrasi. Masyarakat sudah bosan melihat unjuk rasa di jalan dan kekerasan yang terjadi. Untuk itu tidak mengherankan jika masyarakat memilih figur kepala daerah yang bisa menjaga disiplin dan stabilitas. Dengan demikian peluang calon berlatar belakang militer cukup besar dalam Pilkada. "Mulai dari DKI Jakarta, warga memilih militer saja wakil gubernurnya. Atau calon gubernurnya dari polisi. Calon gubernur Jawa Barat dua-duanya tentara. Golkar mencalonkan Wakil Gubernur tentara, PDIP mencalonkan Gubernur tentara. Jawa Tengah juga calonnya mantan tentara. Di daerah-daerah lain juga begitu," katanya. Kalla mengatakan tren kembali ke figur berlatar belakang militer ini hanya peringatan bahwa tidak terjadi di Indonesia saja. Hal senada terjadi di Thailand, Pakistan, Bangladesh, Filipina, Singapura, dan Korea. "Ini bukan dikotomi sipil-militer, tapi orang ingin lebih hidup disiplin. Asumsinya militer bisa lebih bisa menjaga disiplin dan stabilitas. Tren ini bukan didesain siapa-siapa, tapi pilihan rakyat juga. Orang ingin keadaan stabil, capek orang lihat unjuk rasa di jalan," demikian Jusuf Kalla. Selama hari kedua kunjungannya ke Arab Saudi, Wapres Jusuf Kalla meninjau pelaksanaan proyek peningkatan fasilitas pelayanan lempar jumroh yang dilaksanakan oleh Bin Ladin Corporation. Dengan memperluas aliran jemaah saat melempar jumroh menjadi tiga tingkat/jalur, maka pelayanan jemaah haji bisa lebih ditingkatkan sehingga orang tidak perlu berebut dan berdesak-desakan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008