Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pengamat dan praktisi media mulai khawatir pemberitaan media massa Indonesia yang sangat ekstensif tentang sakitnya Presiden RI Periode 1966-1998, HM Soeharto (Pak Harto). Kritik tersebut antara lain disampaikan Ketua AJI Indonesia, Heru Hendratmoko, dan mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, dalam diskusi berjudul "Potret Soeharto dalam Media" yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diselenggarakan di Gedung Jakarta Media Center (JMC), Kebon Sirih, Jakarta, Rabu. Pemberitaan tentang Soeharto dinilai telah menggeser isu-isu lain yang lebih penting, seperti mulai menghilangnya kedelai di pasaran hingga menyebabkan banyak pengusaha tempe dan tahu gulung tikar maupun korban bencana di seluruh tanah air. "Pemberitaan ini menjadi tidak adil bagi publik. Banyak petani tempe yang juga sekarat, seperti Soeharto, tapi tidak diberitakan secara besar-besaran," kata Heru Hendratmoko. Wacana untuk memaafkan Soeharto juga dinilai Heru merupakan isu yang "menyesatkan", karena kasus hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang diduga dilakukan oleh Soeharto belum diselesaikan. "Keluarga korban kejahatan mungkin akan memaafkan Soeharto, namun bagaimana dengan kebenaran? Kebenaran harus tetap diungkap," katanya. Sementara itu, Atmakusumah menilai, pemberitaan tentang sakitnya Soeharto dapat digolongkan sebagai pelanggaran terhadap "privacy" keluarga tersebut. "Pelanggaran `privacy` itu dilakukan oleh wartawan, oleh pihak keluarga, oleh dokter yang memberikan terlalu banyak informasi mengenai kondisi kesehatan Soeharto," katanya. Namun, mantan wartawan harian ndonesia Raya (yang dibredel saat Soeharto menjabat Presiden RI) itu menilai tidak masalah meskipun pemberitaan media tentang sakitnya Soeharto itu berlebihan selama isu-isu penting lainnya tidak dikesampingkan. "Dan, saya melihat media kita sudah melakukan itu, meskipun beritanya digeser ke halaman dalam, karena halaman depannya diisi berita Soeharto," kata Atmakusumah. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008