Oleh Gusti N.C. Aryani Jakarta (ANTARA News) - Dilahirkan di daerah bergolak Thailand Selatan, dibesarkan dengan pendidikan ala barat, kini Surin Pitsuwan (57) siap untuk mengawal 10 negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menuju era baru. Tak lantas dapat bersantai-santai, tugas berat telah menanti di hadapan mantan Menteri Luar Negeri Thailand periode 1997-2002 yang menggantikan Ong Keng Yong yang mengakhiri masa jabatan sebagai Sekretaris Jenderal (Sesjen) ASEAN (Association of South-East Asian Nations) pada 31 Desember 2007 itu. Dengan penandatanganan Piagam ASEAN oleh 10 pemimpin tertinggi negara-negara anggota ASEAN dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 ASEAN di Singapura pada November 2007, maka otomatis Surin adalah Sesjen pertama saat ASEAN sudah memiliki Piagam ASEAN yang merupakan instrumen hukum dalam mengubah perhimpunan kawasan tersebut menjadi suatu organisasi yang berlandaskan aturan yang lebih jelas. Dan, tugas pertama Surin adalah memastikan 10 negara anggota ASEAN memenuhi janji untuk telah mensahkan (ratifikasi) Piagam ASEAN sebelum KTT ke-14 ASEAN di Bangkok, Thailand, pada penghujung 2008. Tugas tersebut bukan hal yang mudah, mengingat sejumlah spekulasi yang berkembang terkait dengan ketidakstabilan situasi politik di sejumlah negara ASEAN, sebut saja di Myanmar. "Saya akan sekuat tenaga mendorong seluruh anggota ASEAN segera memenuhi kewajibannya meratifikasi Piagam ASEAN," kata Surin saat dikonfirmasi mengenai komitmennya mengawal ASEAN. Ayah tiga orang anak itu mengatakan bahwa salah satu agenda kerjanya dalam beberapa bulan mendatang adalah bertemu dengan pemimpin negara ASEAN untuk secara pribadi mendorong proses ratifikasi Piagam ASEAN. Menurut ia, ratifikasi Piagam ASEAN secepatnya merupakan sinyal baik bagi dunia internasional akan keseriusan ASEAN menuju organisasi lebih terpadu dan efisien. Namun, ia tetap akan menghormati setiap proses hukum yang berlangsung di tiap-tiap negara. Ia juga mengatakan, dalam rentang waktu sebelum seluruh negara ASEAN meratifikasi Piagam ASEAN, ada sejumlah prinsip-prinsip dasar yang telah dapat diterapkan. "Piagam ASEAN adalah cetak biru mengenai masa depan ASEAN. Hal itu akan membantu kita mengonsolidasikan tujuan, meningkatkan koordinasi, dan menyamakan kecepatan dalam menghadapi tantangan baru dan persaingan yang lebih ketat," katanya. Optimisme yang ditunjukkan Surin secara tidak langsung menggambarkan kematangannya dalam riuh-rendah dunia politik kawasan. Pria pemilik nama asli Abdul Halim bin Ismael itu dikenal piawai sebagai juru damai di kawasan maupun internasional. Bagi ASEAN, Surin memang bukan orang baru. Selain aktif dalam politik dalam negeri Thailand --sebagai anggota parlemen dan menteri luar negeri (menlu)-- Surin juga dikenal sebagai salah satu orang yang turut mendorong pemerintah negara ASEAN memulihkan tatanan dan stabilitas kawasan dari krisis moneter Asia 1997. Ia juga menjabat Ketua Sidang Pertemuan Tingkat Luar Negeri ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF) pada 1999-2000. Bagi Indonesia, nama Surin dikenal turut mengupayakan perdamaian di Timor Leste pasca-referendum Agustus 1999 dengan dukungan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan masyarakat internasional, serta perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Di kancah politik internasional, Surin juga pernah menjabat sebagai anggota Commission on Human Security (CHS) PBB hingga 2003 dan anggota Badan Penasihat Human Security Trust Fund (HSTF) dan Badan Penasihat the International Crisis Group (ICG). Pendidikan Barat Sebagai bocah muslim yang dilahirkan di sebuah pesantren di Nakorn Sri Thammarat, Thailand Selatan --sebuah wilayah etnis Melayu yang perekonomiannya relatif tertinggal di negara yang berpenduduk mayoritas Budha-- Surin justru menunjukkan kegemilangannya dengan tampil menjadi salah satu diplomat ulung berpendidikan Barat. Surin yang hampir sepanjang hidupnya mengenyam pendidikan ala barat --terutama di Amerika Serikat (AS)-- itu adalah salah satu tokoh yang paling menonjol dari Thailand Selatan. Sepak terjangnya juga memberikan harapan bagi warga Thailand Selatan untuk mengenyam perdamaian. Surin mengawali pendidikan ala baratnya dengan mengikuti program pertukaran pelajar American Field Service (AFS) pada 1967-1968 semasa Sekolah Menengah Atas (SMA). Dia lalu kembali ke Bangkok dan menjadi mahasiswa S-1 Universitas Thammasat selama dua tahun sebelum kembali ke AS menjadi mahasiwa jurusan ilmu politik di Claremont Men`s College, California dan lulus dengan menyandang predikat "cum laude". Pada tahun 1974-1982, Surin kembali melanjutkan pendidikannya di AS berkat beasiswa Rockefeller Foundation Fellowship, dan memperoleh gelar S-2 dan S-3 di Universitas Harvard dalam bidang studi Ilmu Politik dan Timur Tengah. Dia juga sempat melakukan penelitian di American University di Kairo, Mesir, pada 1975-1977. Sebelum mengawali karir politiknya, pria yang mahir berbahasa Arab itu juga sempat menjadi kolumnis di dua harian berbahasa Inggris terkemuka di Thailand, The Nation dan The Bangkok Post. Dia pun sempat mengajar di Universitas Thammasat sebelum kembali lagi ke AS untuk meniti karier di dunia politik. Di Washington, dia menjalani program magang di kantor Geraldine Ferraro, anggota DPR yang menjadi kandidat wakil presiden AS untuk Partai Demokrat pada pemilihan umum 1984. Tidak hanya itu, Surin juga mengajar di American University, Washington DC di tahun yang sama sebelum mengawali karir politiknya di dalam negeri. Terkait dengan upaya ASEAN mendorong penyelesaian secara damai sengketa di Thailand selatan, Surin mengatakan bahwa masyarakat Islam di Asia Tenggara identik dengan keterbukaan, maju dan moderat. "Indonesia dan Malaysia saya kira merupakan contoh baik mengenai kehidupan masyarakat muslim," katanya. Menurut ia, dengan peningkatan sumberdaya manusia, pendidikan dan kesejahteraan, masyarakat di Thailand selatan akan merasa turut dilibatkan dalam kehidupan bernegara.Ia mengatakan bahwa keberhasilan ASEAN menciptakan perdamaian di kawasan membuat dunia tidak perlu mengkhawatirkan Asia Tenggara. Surin mengemukakan, pada 40 tahun lalu pendiri ASEAN menyatakan komitmen mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian di kawasan itu. Oleh karena itu, kini seluruh pemimpin ASEAN harus bekerja sama berupaya keras mewujudkan mimpi tersebut. "ASEAN hendaknya dapat menjadi organisasi dinamis di Asia," ujarnya. Sebaris kalimat yang meluncur dari bibir Surin itu seakan mewakili seluruh itikad baiknya mengawal Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam menuju ASEAN yang baru. ASEAN yang lebih siap bersaing di dunia internasional. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008