Jakarta (ANTARA News) - Festival film lingkungan bertajuk "South to South Film Festival" yang berlangsung di Goethe Institute, 25-27 Januari 2008 diharapkan dapat menggugah sikap kritis publik terhadap berbagai kasus kerusakan lingkungan hidup sekaligus menyampaikan suara masyarakat yang terpinggirkan. "Selama ini masyarakat Indonesia masih rendah dalam partisipasi publik untuk mengeritisi isu-isu lingkungan, maka dengan adanya festival film tentang lingkungan ini kami ingin mengajak publik memahami masalah, lebih kritis, dan bersolidaritas dengan warga lain di kawasan eksploitasi sumber daya alam, untuk kehidupan yang lebih adil," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Chalid Muhammad, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu. "South to South Film Festival" merupakan festival film bertema lingkungan yang berlangsung dua tahun sekali. Kali ini tema yang diangkat adalah "Vote for Live" (Memilih untuk Hidup). Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Jaringan Masyarakat Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Forest Watch Indonesia, Gekko Studio, dan Ecosister. Sebanyak 16 film pilihan akan diputar selama festival. Film tersebut secara garis besar menceritakan kehidupan masyarakat di 11 negara yang tinggal di kawasan kaya sumber daya alam. Beberapa film juga bertutur tentang perubahan iklim. "Isu-isu seputar eksploitasi hutan dan perubahan iklim akan menjadi salah satu topik dalam festival. Hal ini penting karena kondisi hutan alam kita kritis, ancaman pertambangan hutan lindung, dan juga ekspansi perkebunan skala besar," ujar penyelenggara dari Forest Watch Indonesia, Cristian Purba.Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Siti Maemunah, mengatakan bahwa tayangan di televisi kini didominasi sinetron dan gaya hidup, sedangkan di bioskop didominasi film bergenre percintaan, hantu, dan mistik. "Semakin lama tayangan itu membuat orang menjadi tidak kritis dan kita akan terbodohi. Kondisi ini membuat kami prihatin, dan keprihatinan ini yang mendorong kami menghadirkan festival film lingkungan," ujar Siti. Sebagai kegiatan pendamping pemutaran film ini, digelar lomba membuat poster untuk Presiden terpilih 2009, dan lomba menulis puisi tentang lingkungan. Siti mengatakan, karya yang berhasil menjadi pemenang dalam lomba poster dan puisi rencananya akan dijadikan materi kampanye pada tahun-tahun ke depan. Festival dibuka dengan film "Sipakapa Is Not for Sale", sebuah film yang bercerita tentang perjuangan masyarakat Sipakapa di Guatemala, untuk menentukan masa depan kotanya; menerima atau menolak operasi tambang di wilayahnya tersebut lewat referendum. Film itu sebelumnya masuk dalam beberapa festival, seperti di Festival Film Lingkungan Hidup (Environmental Film Festival) di Toronto tahun 2006 dan "The Native Spirit Festival" yang digelar di London tahun 2007. Pada hari kedua (Sabtu, 26/1) festival film akan menampilkan film "Penusa Tana" dan "Mahua Memoirs". Berikutnya juga diputar seri film pendek bertema Forest Series, yaitu "Chained to Charcoal", "Forest Fortune" dan "Wildlife`s Worry". Pemutaran film juga diisi dengan seri film pendek bertema Water Series yaitu "Fish of Fees", "Niger, "A Life Line", dan "Teluk Jakarta Under Pressure". Pada hari terakhir (Minggu, 27/1) akan ditayangkan film-film yang berkaitan dengan perubahan iklim yaitu "Laut yang Tenggelam" dan "Suit Utik" (Indonesia), "The Pampas Unknown Desert" (Brazil), "Jonathan Brown and the Lost Penguin" (Australia), "The Fridge" (Chechnya), dan "The Last Boy Riding" (Philipina). Selain memutar film, kegiatan itu akan diselingi bincang-bincang bertema "Vote for Life" dan "We are Connected" berturut-turut pada hari kedua dan ketiga festival berlangsung. Kegiatan ini akan dipadukan dengan musik dari "Cozy Street Corner" dan "Seven Soul". Sebagai penutup, film "Too Hot Not To Handle" hasil besutan sineas Amerika Serikat akan ditampilkan dalam festival ini. Sepanjang festival berlangsung juga digelar pameran foto bertajuk "We are Connected". Pameran foto akan menampilkan potret-potret penghancuran kawasan sumber daya alam yang jarang atau bahkan tak pernah sampai ke ruang-ruang publik di kota, terutama yang terjadi di belahan selatan dunia. Foto-foto tersebut akan menghubungkan para penghuni kota, yang saat ini menjadi pemakai utama kayu, energi, perhiasan dan barang elektronik, dengan komunitas pedesaan yang menjadi tempat kayu ditebang, sawit ditanam, emas digali, dan minyak dibor. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008