Jakarta (ANTARA) - Nahas untuk Bahtiar, warga Kecamatan Bahodopi terseret dan hilang di Sungai Dampala, saat berusaha menyeberang sungai yang sedang banjir untuk menengok keluarganya, Senin (10/6) pagi.

Bahtiar merupakan salah seorang karyawan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Keterangan yang dikumpulkan Antara di lokasi kejadian menyebutkan, Bachtiar dan keluarganya tinggal di rumah kos di Desa Dampala, sekitar lima kilometer dari Bahodopi, lokasi PT IMIP, sebuah kawasan industri pertambangan nikel terbesar di Indonesia, tempatnya bekerja selama ini.

Sudah sepekan hubungan darat antara Desa Dampala dan Bahodopi terputus karena banjir yang menyebabkan jembatan Dampala sepanjang 42 meter hanyut diterjang banjir. Akibatnya, Bachtiar terjebak di Bahodopi dan tidak bisa kembali menengok keluarga yang ditinggalkannya.

Bencana banjir yang melanda Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, sejak sepekan terakhir mengakibatkan ratusan rumah penduduk dan bangunan pemerintah dan fasilitas umum rusak. Bahkan arus lalu lintas Trans Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara tertutup total, Sabtu (8/6) dini hari.

Akibat banjir itu, empat jembatan permanen di Morowali rusak berat yakni jembatan Bahoyuno Wosu di Kecamatan Bungku Barat, Jembatan Dampala di Kecamatan Bungku Tengah, Jembatan Lalampu dan Jembatan Bahodopi di Kecamatan Bahodopi.

Kondisi itu diperparah lagi dengan putusnya jalan nasional Kendari (Sultra) ke Bahodopi akibat banjir bandang di Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Jembatan Dampala ini merupakan penghubung utama antara ibu kota Kabupaten Morowali dengan kawasan PT Indonesia Morowali Industri Park (IMIP) yang mempekerjakan lebih dari 35.000 tenaga kerja dalam dan luar negeri.

“Jembatan ini adalah jalur satu-satunya menuju kawasan IMIP, selanjutnya ke perbatasan Sulteng-Sultra di Konawe Utara (Sultra), tidak ada jalur alternatif," ujar Ronal, seorang warga Desa Bahodopi.

Juru Bicara PT IMIP, Dedi Kurniawan mengatakan putusnya jalur transportasi akibat banjir di Morowali tidak berdampak pada proses produksi dalam kawasan perusahaan.

“Mayoritas pekerja berada dalam Kecamatan Bahodopi,” kata Dedi.

Terkait dengan salah seorang karyawan PT IMIP yang menjadi korban banjir bandang, Dedi belum mendapatkan informasi yang pasti.


Banjir karena Tambang

Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, Syahrudin Ariestal Douw mengatakan banjir bandang di Morowali akibat dari pengelolaan industri pertambangan yang tidak ramah lingkungan.

Dalam catatan Jatam Sulteng, sejak tahun 2009 hingga 2015, pemerintah secara mudah mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) di Morowali. Bahkan kata pria disapa Etal itu, tiga kali banjir bandang melanda Morowali yang mengakibatkan kerusakan kerusakan fasilitas umum dan asset milik masyarakat.

“Memang Intensitas hujan di Sulteng tertinggi di Morowali. Sejak dahulu Morowali sering terkena banjir, tetapi banjir sebelumnya tidak mengakibatkan kerugian material yang luas kepada rakyat,” kata Etal dihubungi dari Jakarta.

Etal menceritakan banjir bandang pertama kali terjadi sekitar tahun 2011-2012 di Desa Bahomakmur, dimana puluhan rumah masyarakat hanyut. Kala itu, Jatam bersama masyarakat berhasil mengumpulkan petisi sekitar 40 ribu warga, yang menginginkan evaluasi IUP di Morowali.

Lokasi PT PT Indonesia Morowali Industri Park (IMIP), Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulteng. (ANTARANEWS/ISTIMEWA)

Petisi yang terkumpul kemudian diserahkan kepada presiden dan secara berjenjang memerintahkan instansi teknis hingga tingkat BLHD Sulteng untuk melakukan evaluasi. Hingga saat ini kata Etal, pihaknya tidak mengetahui apa hasil evaluasi itu.

“Ini tanda bagi pemerintah, bahwa banjir itu merupakan peristiwa yang terulang, sejak ada perusahaan pertambangan di Morowali,” tegas Etal.

Jatam juga memantau, sejak tahun 2015 usai korsup IUP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih tersisa sekitar 60-an IUP di Morowali yang mengambil material nikel mentah (ore) di dalam hutan dan dijual untuk sejumlah perusahaan pemurnian nikel dalam kawasan PT IMIP.

Selain itu, sebagian besar IUP yang ada di Morowali tidak memiliki izin pinjam kawasan hutan (IPPKH) sebagai salah satu syarat untuk dikeluarkan IUP eksplorasi atau pun operasi produksi.

“Salah satu perusahaan milik PT BDM, memiliki konsensi IUP hampir sembilan blok di hulu dan sepanjang Sungai Bahodopi,” ujarnya.

Etal menegaskan PT IMIP seharusnya turut serta bertanggung jawab atas dampak dari banjir bandang tersebut dan tidak sepenuhnya menyerahkan kepada pemerintah.

Pernyataan Jatam Sulteng turut dikuatkan, Abdul Hamid, seorang tokoh masyarakat Bahodopi mengatakan bahwa perusahaan tambang nikel yang membuka areal penambangan di hulu sungai-sungai di Morowali harus ikut bertanggung jawab terhadap bencana banjir yang melanda saat ini.

“Jelas sekali bahwa penambangan di hulu sungai itu memberikan dampak mengerikan saat banjir kali ini,” ujar Hamid yang juga Sekretaris Desa Lee Lee.

Menurut Hamid, tahun 2006 dan 2010, banjir seperti ini pernah terjadi pula, tetapi bedanya, air bah saat itu, meski melampaui badan jalan, tidak menimbulkan kerusakan parah sebab yang datang hanya air, tidak ada sedimentasi.

Hamid kemudian menunjukkan pegunungan yang sudah gundul karena menjadi eks lokasi penambangan nikel.

"Itu yang kelihatan dari sini pak. Di balik gunung itu, masih banyak lagi gunung yang gundul bekas penambangan. Saya yakin dari situlah sedimen berupa batang-batang kayu serta lumpur kuning itu berasal dan menimbun rumah-rumah penduduk di sini," kata Hamid.

Juru Bicara PT IMIP, Dedi Kurniawan menegaskan perusahaan belum mengambil ore dari dalam Kabupaten Morowali. Karena areal tambang yang dimiliki IMIP, digunakan sebagai cadangan bahan baku dan belum digunakan sama sekali.

Saat ini kata Dedi, bahan baku yang digunakan perusahaan pemurnian nikel dalam kawasan IMIP, dibeli dari luar kawasan IMIP atau diluar Provinsi Sulawesi Tengah.

“Setiap bulan, kami membeli sekitar 200-250 kapal membawa nikel mentah (ore) masuk dalam kawasan IMIP,” jelas Dedi.

Sementara itu, Bupati Morowali Taslim menegaskan bahwa banjir bandang yang melanda sejumlah desa di daerahnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir.

“Dampak penambangan memang ada, tetapi penyebab utamanya adalah curah hujan yang sangat tinggi,” katanya.

Menurut dia, banjir seperti ini merupakan proses terulang dalam lima dan 10 tahun, namun diakui bahwa banjir saat ini berbeda dari banjir sebelumnya karena air bah membawa sedimentasi.

Dampak buruk pengelolaan lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah menyebut banjir yang terjadi di Kabupaten Morowali berkaitan erat dengan menurunnya daya dukung lingkungan.

“Morowali merupakan salah satu daerah yang masif melakukan eksploitasi sumber daya alam (SDA) berbasis lahan,” kata Manager Kampanye Walhi Sulteng, Stevandi.

Eksploitasi SDA itu tentunya diikutkan dengan praktek pembabatan hutan, yang kemudian berdampak terjadinya deforestasi hutan (perubahan lahan hutan menjadi non-hutan).

Praktek tersebut, dinilai oleh Walhi Sulteng, memberikan kontribusi besar terhadap penurunan daya dukung atau kualitas lingkungan, yang memberikan dampak terjadinya erosi dan banjir.

Menurut Stevandi, pemerintah daerah semestinya sebelum mengeluarkan kebijakan, harus benar-benar mempertimbangkan aspek lingkungan, agar tidak terjadi dampak dari buruknya lingkungan, seperti banjir yang terjadi saat ini.

Data Walhi Sulteng menyebutkan bahwa terdapat sekitar 6.000 hektare lahan yang dapat di katakan kritis, di Kabupaten Morowali.

"Ini data awal berdasarkan pencitraan satelit. Kami akan investigasi lebih mendalam untuk konkretkan data 6.000 lahan kritis di Morowali," ujarnya.

Walaupun itu data awal, namun cukup fantastis dan memberikan dampak besar terhadap masyarakat bila terjadi bencana alam. Olehnya, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah perbaikan lingkungan, misalnya melakukan reboisasi.

Walhi juga mendesak pemerintah untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah, karena hanya akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.

“Dampak dari buruknya lingkungan yang terjadi saat ini, merupakan hasil dari kebijakan pemerintah daerah," katanya.

Bupati Morowali Drs H Taslim (tengah), Kasatker III PJN XIV Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR Beny Birmansyah (kiri) dan Kapolres Morowali AKBP Dadan berbincang di lokasi benjana banjir Desa Dampala, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulteng, Senin (10/6). (ANTARANEWS/ROLEX MALAHA)

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) mencatat hingga Maret 2019 telah mengeluarkan 39 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk operasi produksi tambang dan non tambang di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah.

Dari 39 IPPKH tersebut, 19 IPPKH diperuntukan bagi sejumlah perusahaan pertambangan operasi produksi Nikel dan sarana penunjang lainnya di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.

Campur tangan pemerintah

Pascabanjir Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) XIV Kementerian PUPR terus berupaya melakukan pemulihan dengan membangun sejumlah jembatan (darurat) besi (bally) untuk menggantikan jembatan permanen yang hanyut terbawa banjir.

Kepala Satuan Kerja (Kasatker) III PJN XIV Wilayah Sulawesi Beny Birmansyah menegaskan bila ada bencana yang mengakibatkan akses jalan nasional terputus, maka dalam tempo tujuh hari sejak peristiwa itu, akses sudah harus bisa terbuka kembali.

“Nah, kondisi putus jalan ini sudah berjalan dua hari sejak Sabtu (8/6). Jadi kita perlu waktu lima hari lagi untuk menormalisasi arus lalu lintas,” kata Beny di Desa Dampala, Kabupaten Morowali, Sulteng.

Ruas jalan nasional di Morowali ini sangat strategis karena merupakan urat nadi menuju Kecamatan Bahodopi, kawasan pertambangan Nikel terbesar di Indonesia yang dikelola IMIP.

Kondisi pascabanjir juga memaksa pemerintah Kabupaten Morowali untuk menormalisasi harga bahan-bahan pokok di Kecamatan Bahodopi, yang dilaporkan melambung tinggi sebagai dampak keterisolasian wilayah akibat bencana banjir.

“Kami sedang berupaya untuk mendatangkan bahan-bahan pokok ke Bahodopi yang dilaporkan terjadi kelangkaan sehingga harga jualnya melambung tinggi,” kata Bupati Morowali Taslim kepada Antara di Bahodopi, Senin.

Usai banjir, harga bahan bakar premium melonjak dari Rp10.000 menjadi Rp50.000 per botol. Harga elpiji tiga kilogram yang biasanya Rp45.000 per tabung, naik menjadi Rp150.000/tabun. Harga beras naik dari Rp280.000 menjadi Rp350.000 per zak berisi 25 kilogram, sementara telur ayam naik dari Rp3.000 menjadi Rp10.000/butir.

Bupati Taslim mengakui bahwa Bahodopi yang menjadi lokasi industri pertambangan nikel yang mempekerjakan 35.000-an tenaga kerja itu memang sangat terdampak oleh banjir bandang. Akibatnya, empat jembatan putus sehingga akses barang dan jasa dari Kota Palu, Poso, dan Makassar (Sulsel) menjadi terputus total.

Baca juga: Mahasiswa tolak perusahaan tambang di Konawe Kepulauan

Baca juga: Petani rumput laut adukan pencemaran limbah tambang nikel


Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019