Meski demikian, Luhut mengakui ada sejumlah kesalahan atas kondisi tersebut sehingga menimbulkan gejolak saat harga tiket pesawat mengalami kenaikan seperti saat ini.
"Kalau kita lihat, harga tiket pesawat Garuda di Indonesia itu masih empat atau enam termurah di dunia. Jadi harga tiketnya paling murah. Kan tidak sehat juga untuk perusahaan. Tapi ada juga kesalahan pemerintah," ungkapnya ditemui seusai halalbihalal di Gedung BPPT Jakarta, Selasa.
Menurut Luhut, salah satu kesalahan pemerintah adalah membiarkan harga avtur terlalu tinggi, bahkan lebih tinggi dari harga patokan Mid Oil Platts Singapore (MOPS) Singapura.
"Makanya saya pernah katakan, nanti harus ada satu lagi pembanding. Ada yang bilang (agar harga avtur) disubsidi di daerah, ya carilah 'partner' yang mau subsidi di daerah. Masak Singapura bisa lebih murah 20 persen dari kita?" ujarnya.
Luhut menambahkan, masalah lain atas tingginya harga tiket pesawat adalah inefisiensi yang terjadi di Garuda Indonesia dan Lion Air, dua maskapai utama yang mendominasi penerbangan nasional.
Inefisiensi, menurut mantan Menko Polhukam itu, terjadi untuk pembelian pesawat yang tidak sesuai dan tidak efisien.
"Tapi sekarang Garuda sedang memperbaiki, begitu pula di Lion," katanya.
Mantan Kepala Staf Presiden itu menuturkan meski didominasi dua grup maskapai, tidak ada duopoli dalam penerbangan nasional. Pasalnya, maskapai asal Malaysia AirAsia juga telah beroperasi di Indonesia.
"Jadi kalau duopoli, saya rasa enggak juga," imbuhnya.
Luhut mengatakan secara bertahap akan terjadi penyesuaian harga. Namun, ia mengatakan kenaikan harga dalam penyesuaian tidak bisa dihindari.
"Memang harga itu juga harus dinaikkan, hanya memang kenaikkan harus dilakukan secara 'gradual' (bertahap) dan di sektor orang-orang mampu. Yang kurang mampu, harga itu dikasih subsidi. Karena tidak boleh juga dong kita terlalu beda jauh dengan di luar," pungkasnya.
Baca juga: Menhub akan kaji kompetisi dengan maskapai asing
Baca juga: Alvin: Datangkan maskapai asing tidak selesaikan persoalan penerbangan
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019