Jakarta (ANTARA News) - Pasar saham di Indonesia selama 2008 diperkirakan masih akan berkembang dengan baik, sehingga menjadi daya tarik bagi investor finansial untuk masuk ke Indonesia. Ekonom Citibank, Anton Gunawan, di Jakarta, Senin, mengatakan dengan pengembalian hasil yang lebih menarik dibanding dengan pasar-pasar berkembang lainnya, diperkirakan pasar saham akan kembali mengalami "rally" pada 2008, seiiring dengan masuknya arus modal ke dalam negeri di tengah volatilitas pasar yang semakin tinggi. Menurut Anton, harga ekuitas, yang sudah tumbuh sekitar 50 persen pada 2007, kemungkinan akan terus tumbuh dengan prospek ekonomi yang lebih baik. Namun, Anton menegaskan bahwa seiring dengan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin siap untuk bergerak maju, sikap waspada tetap menjadi hal yang penting, terutama dalam menghadapi risiko-risiko yang muncul, baik di dalam dan di luar negeri. Selain akan mengalami hal positif pada pasar saham, Indonesia diprediksi akan mengalami beberapa kendala, yakni inflasi, penurunan produksi minyak, krisis listrik, dan melemahnya nilai nominal mata uang rupiah. "Kendala pertama yaitu terjadinya tekanan inflasi yang lebih tinggi yang disebabkan oleh terbatasnya suplai, tingginya harga makanan, dan harga enerji pada 2008," katanya. Menurut dia, memang pemerintah telah berjanji untuk mempertahankan harga BBM bersubsidi. Namun, bila terdapat kenaikan pada harga BBM tidak bersubsidi, hal ini akan memberi efek negatif terhadap kinerja sektor manufaktur yang tumbuh hanya lima persen bila dibandingkan dengan pertumbuhan dua digit pada masa sebelum krisis. Karena itu, Anton menganggap perlunya Bank Indonesia (BI) memperketat kebijaksanaan moneternya, bila tidak ingin melihat beralihnya arus dana ke luar negeri. Kendala kedua yang diprediksi akan terjadi adalah produksi minyak yang menurun dan ditambah dengan meningkatnya kebutuhan BBM bersubsidi. "Kedua hal ini akan memperberat posisi fiskal pemerintah," katanya. Asumsi produksi minyak pemerintah pada 2008 yang sebesar 1,034 juta barrel per hari tidak terlihat optimis untuk bisa dicapai. Memburuknya posisi fiskal juga dapat membuat pemerintah mengambil langkah yang tidak populer dengan menaikan harga BBM bersubsidi dan harga listrik. Tentunya itu dapat mendorong naiknya inflasi dan menuju kebijaksaan finansial yang ketat. Efek dari itu mungkin tidak sebesar pada 2005, tapi tetap saja bisa mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi. Selain dua kendala di atas, katanya, Indonesia sepertinya mendekati krisis listrik yang serius, sebagaimana krisis yang terjadi pada Mei 2007, dimana terdapat 94 lokasi krisis listrik di luar sistem Jawa-Bali-Madura. Krisis ini terjadi akibat lambatnya pembangunan pembangkit listrik baru yang diperkirakan sebagian besar baru akan siap pada 2010, sementara hanya beberapa saja yang dapat siap di akhir 2009. Ini berarti dalam waktu satu atau dua tahun ke depan beberapa daerah dan industri harus menghadapi pemadaman. Pengiriman bahan pokok pembangkit listrik seperti batu bara, diesel, dan gas alam yang tersendat-sendat membuat situasi ini semakin parah. "Kendala terakhir adalah kemungkinan melemahnya nilai nominal mata uang, namun terjadi penguatan pada nilai rillnya seiring dengan membaiknya aktifitas ekonomi dan terus tingginya harga minyak di tahun depan. Ketidakpastian hukum akan terus berlanjut menghantui stabilitas institusi dan pasar finansial," ungkap Anton. Menurut dia, prospek ekonomi fundamental yang lebih baik akan membantu kestabilan prospek kredit dan mata uang. Dalam dua tahun ke depan, pihaknya memperkirakan Indonesia akan memperoleh rating kredit yang lebih baik. (*)
Copyright © ANTARA 2008