Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah pada pekan depan diperkirakan kembali terpuruk mendekati level Rp9.500 per dolar AS, karena turbulensi (gejolak) domestik. "Gejolak pasar yang menekan rupiah itu akibat aksi "fund manager' asing yang melepas portofolio dan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, seperti kedelai dan beras," kata analis Valas PT Bank Saudara, Rully Nova di Jakarta, akhir pekan ini. Dikatakannya, pelepasan portofolio oleh manajemen investasi asing itu, karena mereka khawatir dengan pasar domestik yang semakin terpuruk dan Indonesia lebih jauh akan mengalami krisis pangan. "Karena itu untuk memperkecil kerugian yang lebih parah, mereka melakukan aksi lepas portofolio,' ucapnya. Menurut dia, apabila aksi itu berlanjut, rupiah akan kembali tertekan menuju level Rp9.500 per dolar AS, meski Bank Indonesia (BI) menyatakan siap menahan gejolak pasar yang menekan rupiah. Namun BI diperkirakan tidak selamanya menahan gejolak pasar yang negatif, karena itu bukan tugas BI yang sebenarnya, ucapnya. Pergerakan rupiah, lanjut dia, masih tetap berada di bawah level Rp9.500 per dolar AS. Bila meliwati angka batas psikologis itu diperkirakan akan memberikan dampak negatif yang besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional. "Kami optimis BI akan mempertahankan rupiah tetap berada di bawah level Rp9.500 per dolar AS, karena pada level tersebut masih memberikan kenyamanan bagi perusahaan yang menjual produk-produknya ke luar negeri," katanya. Rupiah, menurut dia, sebelumnya sempat menguat mencapai level Rp9.390 per dolar AS, setelah otoritas moneter itu mengatakan siap masuk pasar dengan melepas cadangan dolar AS. Namun pada perdagangan berikutnya rupiah terpuruk tajam hingga mendekati level Rp9.450 per dolar AS akibat tingginya kekhawatiran pelaku terhadap gejolak pasar domestik, ucapnya. Keterpurukan rupiah juga akibat inflasi yang tinggi, karena kenaikan harga kebutuhan pokok akibat produksi yang berkurang, katanya. "Kami mengharapkan pemerintah dapat segera mengatasi masalah kenaikan harga kedelai dan harga beras yang terus meningkat. Tapi pemerintah tampaknya sulit mengatasinya, karena naiknya harga kedelai dan beras dampak dari harga kedua komoditas itu di pasar dunia meningkat," katanya. Merosotnya rupiah, lanjut dia juga diikuti oleh melemah indeks harga saham gabungan yang sejak tiga hari lalu melemah, akibat terpuruk bursa dunia yang menekan bursa domestik. Penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) merupakan gejala global yang antara lain dipicu oleh adanya prediksi resisi di As menyusul penjualan ritel yang menurun di Amerika Serikat (AS). "Itu fenomena global termasuk karena faktor perkiraan resesi di Amerika, prediksi itu bisa berubah kalau ada faktor-faktor yang baik," jelasnya. Rupiah, menurut dia, seharusnya menguat, karena di pasar regional dolar AS melemah terhadap yen dan euro akibat melemahnya data indikator ekonomi AS seperti meningkatnya tingkat pengangguran. Namun kenaikan rupiah tertahan oleh melemahnya faktor internal negatif yang lebih tinggi, demikian Rully Nova. (*)
Copyright © ANTARA 2008