Jakarta (ANTARA News) - Liberalisasi tata niaga yang dianut Indonesia menjadi penyebab utama rusaknya harga kedelai di pasar tanah air, kata Direktur Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Direktorat Jenderal (Ditjen) Tanaman Pangan Departemen Pertanian (Deptan), Muchlizar Murkam. "Waktu Bulog masih memegang kendali tahun 1992, Indonesia malah bisa swasembada kedelai dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun. Tapi, semenjak liberalisasi, mengikuti tata niaga dunia, pasar yang mengatur," ujarnya di Jakarta, Jumat. Dia mengatakan, Deptan tidak dapat memacu para petani untuk berbondong-bondong menanam kedelai, jika harga kedelai di tanah air tidak dapat bersaing. Menurut dia, saat ini tata niaga dunia dimonopoli Amerika Serikat (AS). Pemberian kemudahan impor kedelai dari AS tentu membuat produk pertanian tersebut jauh lebih murah dibanding harga kedelai dalam negeri. Hal tersebut, dinilainya, menyebabkan para petani kedelai enggan mengembangkan produk pertanian tersebut dan lebih memilih harga komoditas pertanian yang memiliki harga jual tinggi, ujar dia. "Kami tentu tidak dapat membiarkan petani terus merugi karena harga yang tidak bersaing. Kami mendukung petani yang ingin mengembangkan produk pertanian yang lebih memiliki harga jual dibanding kedelai," katanya. Menurut Muchlizar, dalam kurun waktu 10 tahun petani dibebaskan beralih ketanaman lain. Oleh karena itu, lahan pertanian kedelai berkurang dari 1,6 juta hektar menjadi 600.000 hektar saja. Dia juga mengatakan, sebenarnya petani kedelai sudah sejak lama ingin melakukan demonstrasi ke Istana Negara untuk menuntut dinaikannya harga kedelai hingga Rp5.000 per kilogram. Menurut dia, sudah sejak 10 tahun lalu petani kedelai menjerit karena harga jual kedelai dalam negeri selalu kalah bersaing, dan disinyalir para importir telah bermain sejak lama. Dia mengatakan, dari data yang dikeluarkan BPS dapat dilihat bahwa harga kedelai dalam negeri tidak dapat bersaing. Tahun 2005 harga kedelai impor Rp2.800, sedangkan harga kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600 sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram. Dia juga mengatakan, upaya menarik petani untuk mau beralih lagi menanam kedelai di tahun 2007 telah dilakukan dengan cara memberikan bantuan benih gratis untuk lahan seluas 313.489 hektar, yang kemudian direvisi menjadi 260.000 hektar. Namun, dia mengatakan, sangat disayangkan petani tidak tertarik menanam kedelai akibat harga kedelai yang tidak bersaing. Sementara itu, Telapak dan Gerakan Ekonomi Rakyat Mandiri (Geram) pada kesempatan yang sama mengeluarkan pernyataan sikap, agar pemerintah menyetop impor kedelai dan mulai menanam kacang koro sebagai pendamping dari kacang kedelai untuk pemenuhan protein nabati. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008