Oleh A.A. AriwibowoJakarta (ANTARA News) - Tragis. Gara-gara didera krisis harga kedelai yang terus membubung, seorang pedagang gorengan memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri. Harga mendera, nyawa bayarannya, demikian kredo yang, boleh jadi, dianut Slamet (45), pedagang gorengan yang bunuh diri itu. Ia sehari-hari bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A. Yani, di Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten, demikian laporan media massa. Sebagai seorang "persona", Slamet bunuh diri karena kebijakan soal kedelai yang dianggap absurd. Sedemikian absurd, sampai-sampai ia mengakhiri hidup. Absurd, enam huruf yang melatarbelakangi dan mendorong pedagang gorengan untuk memberontak (revolt). Sebaliknya, seorang ibu pembuat tahu di Gunung Sulah, Bandar Lampung tampak terus menggoreng tahu sayur. Dengan mengenakan pakaian keseharian; daster, dan rambut yang diikat ke belakang, ia memegang alat penggorengan untuk terus membalik puluhan tahu dalam wajan yang berisi minyak goreng panas, demikian foto yang dimuat oleh sebuah sebuah harian nasional pada Rabu (16/1). Ibu itu tampil mewakili puluhan perajin tahu di sentra tahu Gunung Sulah atau Kampung Sawah Brebes, Bandar Lampung, yang kini dilanda kekhawatiran bahwa tahu yang mereka hasilkan tidak laku. Tapi, mereka jelas terus melafalkan kata-kata bermakna; memberontak untuk mempertahankan hidup, dengan cinta. Dia melakukan hal-hal yang terbilang "kecil" di mata warga perkotaan, untuk menyebut pekerjaan menggoreng tahu, namun jelas terekam dalam kamera; dia melakukan pekerjaan dengan penuh cinta. Ketika seorang ekonom di Jakarta berkata bahwa kebijakan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai menjadi 0 persen merupakan kebijakan absurd karena tidak mempunyai efek apa pun terhadap harga dan kelangkaan kedelai saat ini, justru seorang pekerja di industri kecil tempe Arema, Jalan Jakarta, Bandung, terus mengaduk kedelai yang dicampur ragi untuk terus memproduksi tempe. Bagi pekerja di industri tempe itu, meski absurd, dia terus berusaha, dan dia ada karena Pencipta adalah oase cinta yang tidak terkira bagi mereka yang dahaga di tengah ziarah kehidupan yang melelahkan. "Kasus ini menunjukkan adanya kebijakan kosong dalam hal ketahanan pangan, khususnya untuk kedelai yang menjadi bahan baku tempe sebagai makanan rakyat yang sudah mendarah daging," ujar Didik J Rachbini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN). Menurut Didik, sistem produksi kedelai hancur karena kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas ini adalah kebijakan pembiaran, yang tidak memberi stimulasi terhadap petani untuk mendapat insentif keuntungan dalam berproduksi. Singkatnya, kebijakan itu bernuansa pepesan kosong, atau kebijakan yang jauh dari aras cinta. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada wartawan setelah memimpin rapat terbatas dengan menteri dan jajaran eselon I Departemen Pertanian mengungkapkan, perlunya perajin tempe-tahu beradaptasi menghadapi kenaikan harga kedelai di pasar dunia. Bagaimana pun, ujar Presiden, kenaikan harga kedelai sampai 100 persen dapat menimbulkan guncangan pada industri berbasis kedelai di Tanah Air. Dalam mengatasi kenaikan harga kedelai di pasar dunia dalam jangka pendek pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan. Di antaranya menurunkan bea masuk impor dari 10 persen menjadi 0 persen. Namun, di tengah upaya pemerintah untuk mencintai rakyatnya di tengah lilitan krisis kedelai, para pedagang tempe di Pasar Kosambi, Bandung, terpaksa membuang sebagian dagangannya yang tidak laku. Mereka menempuh langkah "revolt". Alasannya, sejak kenaikan harga kedelai, produsen justru mengurangi ukuiran tempe meski tetap menjual dengan harga yang sama. Kondisi ini membuat dagangan tidak dilirik pembeli. Semenjak kenaikan harga kedelai, menurut pedagang bernama Ade, penjualan menurun. Jika tidak terjual dalam waktu empat sampai dengan 5 hari, maka barang dagangan itu terpaksa dibuang. "Percuma jika terus dipajang karena konsumen memilih tempe yang baru," katanya. Aura cinta untuk lebih memilih hidup ketimbang mengakhiri hidup juga dimiliki oleh pedagang lainnya. Budi, penjual tempe dan tahu di Pasar Cihaurgeulis, Bandung, menyebutkan, meski tempe dan tahu sulit dijual, ia tetap bertahan. Jumlah pembeli pun terus berkurang. Mengapa para pedagang tahu dan tempe itu justru melakukan hal-hal yang relatif kecil dengan cinta besar besar ketika menghadapi krisis kedelai? Seorang tokoh spiritual yang dikenal sebagai guru perdamaian dan persaudaraan, Bunda Teresa dari Kalkuta pernah mengatakan, "Kita tidak bisa melakukan hal besar di Bumi ini. Kita hanya bisa melakukan hal kecil dengan cinta yang besar." Suatu ketika seorang wartawan bertanya, "Apa yang bisa dilakukan sesorang untuk menjadi lebih bahagia?" Bunda Teresa menjawab, "Lakukan sesuatu yang menyenangkan untuk orang lain." "Kamu akan melihat bahwa kalau kamu bersikap menyenangkan, maka dunia akan terlihat baik. Kalau kamu bersikap baik dan penuh perhatian, dunia akan mengembalikan kebaikan itu kepadamu," katanya. Akan tetapi mengapa manusia kerapkali memilih absurditas -misalnya dengan jalan pintas bunuh diri - ketimbang mencintai hidup ini? Filsuf Prancis Albert Camus dalam karyanya "The Myth of Sisyphus" mengajukan pertanyaan, apakah hidup yang dijalani manusia memang berharga untuk dihayati, bernilai untuk dirayakan? Rutinitas atau kebiasaan hidup keseharian, dari bangun pagi, bekerja, makan, nonton teve, tidur, dan begitu seterusnya menyeret manusia kepada pertanyaan, untuk apa kehidupan yang serba rutin ini? "Manusia telah kehilangan ingatan akan rumah yang telah hilang atau ketiadaan akan harapan kepada tanah air keabadian. Apa yang kita rindukan justru apa yang harus kita tolak," kata Camus. Ketika menapaki 2008, publik ramai-ramai memproklamirkan resolusi hidup yang lebih optimistis ketimbang 2007. Absurditas terus mengintip dalam berbagai bencana alam dan penyakit, Camus pun menolak untuk berakrobat kemudian melakukan salto ke dalam agama. "Manusia akan menjadikan agama semata-mata sebagai pembelaan diri (alibi) untuk melarikan diri dari kepahitan dan kegetiran hidup. Sekarang tinggal bagaimana manusia bersikap," kata Camus. Menurut dia, konsekuensi dari penghayatan akan absurditas justru berontak (revolt). "Revolt artinya berkonfrontasi terus-menerus antara manusia dan kegelapannya. Dalam pemberontakan tidak ada pengharapan. Pemberontakan tidak memecahkan masalah mengenai hidup yang tanpa arti ini. Pemberontakan hanya membawa manusia kepada permenungan (kontemplasi) mengenai absurditas yang justru memberi kebebasan dan kebahagiaan." Bebas dan bahagia untuk siapa? Bebas dan bahagia untuk diri sendiri, karena cinta mempromosikan diri kepada "aku" (promotion du toi), kata filsuf Prancis Maurice Nedoncelle. "Mencintai berarti menghendaki penyempurnaan atas orang yang dicintai. Cinta itu memberi untuk menyempurnakan orang yang dicintainya. Cinta bahkan tidak akan membatasi diri kepada waktu-waktu tertentu. Cinta memiliki sikap mantap, tahan lama, dan merawat kesetiaan sepanjang waktu," katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008